POLEMIK PAJAK PENGHASILAN ATAS UPLIFT DI ERA 2005
Bisnis Indonesia, 01 Juni 2005 (Pajak
Uplift Migas Repotkan Investor)
Hingga
saat ini kajian mengenai uplift sekaligus peraturannya dinilai masih berada
dalam area abu-abu alias tidak jelas. Di sisi lain, pengenaan pajak itu
otomatis berdampak minus pada kantong pendapatan.
Ketika
ditelusuri, pengenaan pajak atas uplift ini diberlakukan sejak 2003 kepada
mitra JOB-EOR Pertamina di sejumlah wilayah kerja di dalam negeri.
Dalam
konteks itu, uplift -sebagai kompensasi atas modal kerja Pertamina yang
ditalangi sebelumnya oleh mitra kontraktor JOB pada masa operasi- diposisikan
sebagai objek pajak sehingga perlu ada pungutan itu.
Secara
sederhana, penjelasan mengenai uplift ini dapat dipahami berdasarkan aturan
main dalam kontrak JOB-EOR yang menginstruksikan komposisi saham atau dikenal
dengan participating interest masing-masing 50% untuk Pertamina maupun investor
yang akan menjadi mitranya.
Dengan
ketentuan itu, dua pihak terkait wajib menanggung 50% modal yang diperlukan
untuk menjalankan operasi migas di wilayah kerja yang akan dikelola.
Namun,
pada kenyataannya, seluruh biaya operasi ini akan ditanggung 100% oleh investor
sesuai isi kontrak yang disepakati bersama. Artinya, kewajiban modal Pertamina
ditalangi terlebih dahulu oleh mitra kerjanya.
Nantinya,
kewajiban modal itu akan dikembalikan Pertamina setelah ladang berproduksi
sesuai volume tertentu. Kompensasi pengembalian modal talangan inilah yang
kemudian disebut sebagai uplift.
Obyek
pajak
Karena
dinilai menambah nilai ekonomi, maka uplift pun akhirnya dikenai pajak yang
pemungutannya disesuaikan dengan ketentuan yang diatur UU No.17/2000 tentang
Pajak Penghasilan (PPh).
Tampaknya
analogi sederhana itu memicu gugatan mitra BUMN migas yang merasa kompensasi
atas kesepakatannya menalangi modal Pertamina merupakan hak normal sesuai
hakikat bisnis.
Berbekal
'asas kemanusiaan' dalam berbisnis -jika boleh dikatakan begitu-, kontraktor
Pertamina dalam JOB-EOR meminta kebijakan uplift ditinjau ulang oleh pemerintah
karena ketidakjelasan peraturannya.
Selain
itu, investor menyatakan kompensasi modal tersebut layak diperolehnya mengingat
tingginya risiko yang mesti ditanggungnya selama eksplorasi. Selain menanggung
100% modal, investor mengklaim dirinya juga terancam 100% risiko. Meminjam
istilah mereka, total equity with total lost.
Perumpamaan
itu ada benarnya. Tingginya risiko di bisnis migas sudah menjadi rahasia umum.
Dengan penanggungan modal 100%, kontraktor belum tentu dapat untung. Alih-alih
berproduksi, tak sedikit eksplorasi yang berakhir dengan dry hole atau ladang
yang kering.
Tetap
untung
Sayangnya,
argumen itu mudah sekali dipatahkan oleh pihak pemungut pajak. Sebab dalam
penerapan UU tentang Pajak Penghasilan (PPh), Ditjen Pajak berpegang pada
definisi apa itu obyek pajak.
UU itu
menjelaskan pajak penghasilan memfokuskan pemahaman atas terjadi atau tidaknya
tambahan kemampuan ekonomi, tidak menekankan bentuk apa kemampuan ekonomi itu
terjadi.
Pemahaman
itu sesuai dengan definisi penghasilan dalam UU PPh yang mendefinisikan itu
sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima wajib pajak. Tambahan itu
dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan pihak yang bersangkutan.
Sederhananya,
yang penting apakah uplift itu menambah kemampuan ekonomi atau tidak, bukan
mengartikan uplift sebagai bentuk kompensasi atas talangan modal yang
ditanggungkan Pertamina kepadanya.
Di
sisi lain, posisi perusahaan yang berkontrak JOB-EOR dengan Pertamina pun
dinyatakan sama dihadapan UU tentang PPh itu. Artinya, keduanya wajib membayar
pajak lebih besar jika mendapat tambahan kemampuan ekonomis atas usaha atau
kerja samanya.
Mengacu
penjelasan itu, akan mudah sekali Ditjen Pajak mematahkan argumentasi investor
yang merasa gerah atas pengenaan pajak uplift tersebut. Apalagi, model-model
kerja sama dengan dasar bisnis pasti sudah diperhitungkan untung-ruginya.
Bukankah
tidak mungkin seorang pengusaha nekad berbisnis tanpa mempertimbangkan margin
keuntungannya? Itu pasti sudah dihitung. Kesepakatannya dengan Pertamina untuk
mau menjamin modal eksplorasi pun pasti sudah diperhitungkan.
Tegasnya,
sekalipun margin tipis, investor pasti-sudah menghitung- untung. Kalau tidak,
mustahil rasanya terjadi kesepakatan kontrak JOB-EOR itu.
Ini
memang situasi buruk. Jika perdebatan ini dibiarkan terbuka, hampir dipastikan
tidak akan bertemu arah tujuannya. Yang paling baik memang mempertemukan dua
pihak terkait untuk duduk bersama memecahkan persoalan ini.
Hingga
saat ini, baik Pertamina, Ditjen Pajak, Departemen Keuangan, maupun kontraktor
JOB-EOR diketahui belum sempat saling bicara membahas masalah ini. Wajar jika
masing-masing pihak berkutat dengan pemahamannya sendiri.
Bisnis Indonesia, 21 Juli 2005 (Uplift
Di Sektor Migas Tak Dapat Terkena PPh)
Kompensasi
atas talangan modal (uplift) yang dibayarkan PT Pertamina kepada mitra
eksplorasinya dipastikan bukan merupakan objek pajak sehingga tidak dapat
dikenai pajak penghasilan (PPh).
Hal
ini terungkap dalam putusan perkara terkait pajak uplift dalam Persidangan Tata
Usaha Negera (PTUN) Jakarta yang digugat Seaunion Energy (Limau) Ltd terhadap
Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) II Jakarta.
Kuasa
Hukum Seaunion Energi (Limau) Ltd, Ian Amir Mustafa, mengatakan gugatan atas
besaran nilai pajak itu dilakukan menyusul adanya indikasi penyelewengan
kebijakan aparatur pemungutan pajak.
“Secara
teknis akuntasi uplift tidak masuk dalam pos pendapatan, tapi tercatat sebagai
reimbursement, dengan sendirinya uplift bukan objek pajak. Tidak ada dasar
untuk mengenakan PPh atas uplift yang diterima kontraktor,” ujarnya di Jakarta
kemarin.
Ian menjelaskan istilah
uplift itu sendiri muncul dalam eksplorasi lanjutan (Enhanced Oil Recovery/EOR)
di lapangan minyak JOB (Joint Operation Body) Pertamina dan kontraktor.
Penyertaan
modal dalam kerja sama itu diperhitungkan dengan porsi masing-masing 50%.
Namun, modal bagian Pertamina itu ditanggung 100% oleh kontraktor sehingga BUMN
migas dipastikan tidak akan mengeluarkan biaya sama sekali.
Setelah ladang minyak itu
berproduksi dan telah mencapai tingkat tertentu, kata Ian, baru diperhitungkan
bagi hasil produksi. Dari pendapatan itu, Pertamina akan mengembalikan 50% dana
talangan yang ditanggung kontraktor dan ditambah kompensasi (uplift) sebesar
30% dari biaya modal.
“Uplift
ini merupakan kompensasi dari Pertamina kepada kontraktor atas talangan modal
tersebut. Jika produksi tidak berhasil sampai tingkat tertentu, tidak akan ada
penggantian. Risiko ini yang secara umum dikenal sebagai production risk.”
Selain itu, kata dia,
uplift yang diterima kontraktor secara akuntansi keuangan tidak tergolong dalam
kategori pendapatan, tetapi akan tercatat sebagai penggantian biaya yang telah
dikeluarkan.
Dengan
demikian, tegasnya, uplift tidak dapat dikenakan sebagai objek pajak karena
tidak akan dibukukan dalam pos pendapatan.
Putusan perkara No 054/G.
PTUIN/2005/PTUN-JKT yang disidangkan kemarin menggugurkan sejumlah peraturan
yang dikeluarkan KPP Badora II Jakarta.
Ketika suatu permasalahan pengenaan pajak tidak memiliki payung hukum yang tegas (dalam bentuk peraturan) maka dapat dipastikan itu akan memicu polemik, berbagai pendapat akan muncul tergantung pada kepentingan mana kecondongannya karena akan banyak kepentingan bermain dan dipermain-mainkan disini. Intinya satu, bicara tentang pengenaan pajak adalah bicara tentang peraturan.
Ketika suatu permasalahan pengenaan pajak tidak memiliki payung hukum yang tegas (dalam bentuk peraturan) maka dapat dipastikan itu akan memicu polemik, berbagai pendapat akan muncul tergantung pada kepentingan mana kecondongannya karena akan banyak kepentingan bermain dan dipermain-mainkan disini. Intinya satu, bicara tentang pengenaan pajak adalah bicara tentang peraturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar