Minggu, 26 Mei 2013

Uplift Dulu dan Kini (Tulisan 1)

Tulisanku tentang "Uplift Dulu dan Kini" ini akan kubagi menjadi 5 bagian, bagian pertama melulu memuat tentang definisi uplift, bagian dua memuat polemik uplift di era 2005-an, bagian 3 merunut sikap Direktorat Jenderal Pajak periode 2001 s/d sebelum berlakunya PP 79 Tahun 2010, lalu bagian empat membahas perlakuan pajak terkini dari uplift, dan bagian lima ngobrol bebas aja tentang uplift.

Tentunya akan banyak kekurangan dalam tulisanku ini mengingat latar belakangku sebagai penulisnya yang memang kurang ilmu, jadi kalau ada yang mau berbaik hati memberi masukan dan koreksi monggo banget, akan ditampung.

DEFINISI UPLIFT
Sebetulnya agak beresiko juga mendefinisikan “uplift” karena pada awalnya “uplift” ini hanyalah sebutan untuk mengistilahkan adanya sejumlah kompensasi atas modal talangan yang diberikan Pertamina. (yang diberikan Pertamina adalah kompensasinya bukan dana talangannya).

Namun boleh juga deh kita apresiasi bila ada yang berusaha memberikan definisi atas “uplift”, berikut kukutipkan pendapat mereka:

Rachmanto Surahmat, Tax Partner pada Prasetio, Sarwoko, & Sandjaja Consult
Dalam mengilustrasikan terjadinya uplift, Rachmanto Surahmat, Tax Partner pada Prasetio, Sarwoko, & Sandjaja Consult, menjelaskan Pertamina mempunyai wilayah kerja yang dikerjakan sendiri (Pertaminas own operation).
Pertamina kemudian mengajak kontraktor lain untuk ikut mengerjakan wilayah kerja miliknya dengan perbandingan participating interest tertentu, misalnya 50%:50%. Sehingga Pertamina akan berdiri sejajar dengan kontraktor, yaitu Pertamina juga bertindak sebagai kontraktor.
Dengan pola ini, Pertamina juga harus menanggung pembiayaan pengelolaan wilayah kerja tersebut sesuai dengan participating interest-nya. Dalam hal Pertamina belum bisa memberikan kontribusi pembiayaan dimaksud, maka kontraktor akan menalangi dulu.
Saat wilayah kerja sudah mulai berproduksi, kontraktor akan melakukan uplift (untuk mendapatkan kembali dana talangan yang telah dikeluarkannya beserta tambahannya).
Rachmanto mendefinisikan uplift sebagai bentuk financing scheme untuk membayar kewajiban Pertamina dalam bentuk in-kind (crude oil). Uplift diartikan sebagai cara kontraktor untuk memperoleh kembali investasi yang dikeluarkan dalam rangka menalangi dana yang seharusnya menjadi kewajiban Pertamina.
Uplift tersebut terdiri dari dua komponen, yaitu investasi (berupa dana talangan yang seharusnya menjadi beban Pertamina) dan selisih antara nilai investasi pada saat dilakukan talangan dengan nilainya pada saat realisasi. Karena uplift didefinisikan seperti tersebut di atas, Rachmanto berpendapat yang menjadi objek pajak penghasilan adalah kenaikan nilai investasi tersebut, bukan keseluruhan jumlah uplift.

Gunawan Pribadi (pernah menjabat Kepala Seksi KPP Badora Dua) dalam tulisannya yang dimuat di Bisnis Indonesia 17 Oktober 2005
Untuk mendapatkan definisi uplift, Gunawan Pribadi  mengutip contoh ketentuan yang diatur dalam suatu Enhanced Oil Recovery Contract sebagai berikut:
Pertamina shall reimburse contractor an amount equal to all funds provided by contractor for Pertaminas Participating Interest share in the Pilot Program and development of Enhanced Oil Recovery Operations subject and limited to the following method:
Capital Costs, as defined in the Accounting Procedure plus a 30% uplift thereon - out of sixty-five percent (65%) of Pertaminas entitlement of contractors Participating Interest share of Incremental Oil.
Non-Capital Costs, as defined in the Accounting Procedure plus a 30% uplift on such Non-Capital Costs but without Operation Expenses - out of one hundred percent (100%) of Pertaminas Participating Interest share of Incremental Oil provided that PERTAMINAs Participating Interest share of Operation Expenses shall be reimbursed preferentially over the other Non-Capital Costs.
Secara matematis, misalkan dalam suatu tahun kontraktor menyediakan dana talangan US$9 juta yang digunakan untuk Capital Costs US$2 juta, Non-Capital Costs US$3 juta, dan Operating Expenses US$4 juta, maka kontraktor akan mendapatkan kembali dana talangan yang telah dikeluarkannya sejumlah US$9 juta tersebut ditambah uplift sebesar US$1,5 juta (30% x US$2 juta dan 30% x US$3 juta).
Jadi, dengan mengeluarkan investasi sebesar US$9 juta, kontraktor akan mendapatkan pengembalian sebesar US$10,5 juta.
Oleh Rachmanto, nilai pengembalian sebesar US$10,5 juta itu disebut dengan uplift. Padahal, berdasarkan kutipan kontrak di atas telah cukup jelas bahwa uplift adalah nilai tambahan yang harus dibayar Pertamina selain pokok dana talangan, yaitu yang sebesar US$1,5 juta. Dalam laporan yang terkait dengan uplift ini, juga telah dibedakan antara pembayaran pokok dana talangan dan pembayaran uplift.
Oleh karena itu, definisi uplift dapat diluruskan menjadi kompensasi/ imbalan sehubungan dengan pemanfaatan dana talangan yang disediakan oleh kontraktor, yang harus dibayar Pertamina dalam bentuk crude oil.

Definisi Uplift Berdasarkan PP 79 Tahun 2010
Uplift adalah imbalan yang diterima oleh kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiyaan.

My note: ingin tau lebih banyak tentang apa itu Enhanced Oil Recovery, klik disini ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar