BRANCH PROFIT TAX KKKS: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC?
Sekapur Sirih Selayang Pandang!
Tulisan 3: Kedudukan
Hukum Production Sharing Contract Di Hadapan Tax Treaty
Sekapur Sirih Selayang Pandang!
Untuk menurunkan tulisanku yang ke-3 ini daku butuh waktu yang relatif
lama, effort yang relatif keras plus
harus menempuh jalan berbatu dan berliku (aihhh segitunya). Sementara beberapa
teman yang menanti2 tulisan ketigaku ini (ecieee….) secara berseloroh
mengatakan “wah …kelihatannya “AR Migas” mulai kehabisan ide nih, tulisan ke-3
sudah dua minggu gak muncul2 (hey…. baru sadar ternyata 2 minggu sudah
kulewatkan dengan hanya berkutat pada buku-buku Perjanjian Internasional hasil
ubek-ubek Gramedia Matraman dan terpaku pada PSC milik salah satu “Wajib Pajak
yang berada dalam pengawasanku” ----sambil menyelam minum air, sambil mempelajari
kontrak sambil cari inspirasi tulisan). Tapi apa boleh buat, 2 buku tentang
perjanjian internasional sudah habis dilahap dan discuss tak ada habis-habisnya
dengan hubby yang Sarjana Hukum Perdata juga masih menyisakan perasaan “merasa
belum cukup”. Akhirnya tulisan ke-3 tak kunjung muncul, maafkan ya!
Bukannya apa-apa, kalau sudah
masuk ke permasalahan hukum yang notabene bukan bidangku jadi harus extra
hati-hati, pertama karena takut digebukin sama para pakar2 hukum kalau salah
kutip dan salah opini (lebay tingkat satu), kedua takut bikin malu suami yang
sudah capek2 memberi kuliah singkat hukum menjelang tidur (lebay tingkat 2).
Para Pihak Dalam Production
Sharing Contract
Para Pihak yang mengikat diri dalam
kontrak PSC dalam sejarah kontrak kerjasama migas di Indonesia telah mengalami
tiga kali perubahan, berikut ini penjelasanya:
1. Era
Kontrak Karya
Pada masa ini
dimana kontrak kerjasama berbentuk konsesi para pihak yang menandatangani
perjanjian adalah Negara dengan perusahaan dalam hal ini Pemerintah RI dengan
kontraktor migas asing. Pola hubungan kerjasama seperti ini biasa disebut pola Business to Government (B to G).
2. Era
PSC Dimana Negara Diwakili Pertamina
Pada masa ini
dimana Negara diwakili oleh Pertamina (merupakan entitas bisnis) di dalam
kontrak maka pola hubungan kerjasama yang terjalin berubah menjadi antara
Perusahaan dengan Perusahaan dalam hal ini Pertamina dan kontraktor migas
asing. Pola hubungan kerjasama seperti ini lazim disebut pola Business to Business (B to B).
3. Era
PSC Dimana Negara Diwakili BP Migas/SKK Migas
Ketika BP Migas
didirikan dan menggantikan posisi Pertamina dalam berkontrak dengan kontraktor
migas asing maka hubungan kerjasama menjadi kembali seperti era konsesi bedanya
pada era konsesi Negara langsung menandatangani kontrak sedangkan dengan
keberadaan BP Migas/SKK Migas maka Negara diwakili oleh BP Migas/SKK Migas
dalam berkontrak. Karena kedudukan BP Migas/SKK Migas hanya sebagai
perpanjangan tangan dari pemerintah maka pola hubungan kerjasama yang terbentuk
adalah B to G.
Menarik untuk disimak adalah
pernyataan Prof. DR. Makmum Hakim Nasution (pakar PSC dari FHUI) yang diucapkan
pada sidang bioremediasi Chevron, “Kedudukan subyek hukum para pihak dalam
perjanjian (PSC) adalah subyek hukum perdata dan dalam pelaksanaan PSC di
Indonesia, pemerintah sudah sepakat untuk memilih arbitrase sebagai mekanisme
penyelesaian jika ada perselisihan.” selanjutnya disebutkan bahwa Sampai saat
ini belum pernah ada, temuan atau perselisihan dalam PSC migas, yang dibawa ke
arbitrase. Mekanisme yang ditempuh hanya business
to business (B to B) karena memang PSC adalah kontrak bisnis.
-------
Kesimpulan:
Walaupun para
pihak yang mengikat kontrak dalam PSC adalah SKK Migas (yang bukan merupakan
entitas bisnis) dengan kontraktor migas dengan pola B to G namun sejatinya
kontrak PSC adalah kontrak bisnis. Berhubung kontrak PSC adalah kontrak bisnis
maka mekanisme yang ditempuh kedua belah pihak dalam berkontrak cenderung
mengacu ke pola B to B, namun ini tidak berarti merubah pola B to G karena
berdasarkan teori kontrak B to G terdiri atas dua jenis yaitu kontrak ekonomi
dan kontrak non ekonomi dan PSC adalah kontrak B to G jenis kontrak ekonomi.
Hukum yang Dipakai dalam
Pola B to G
Ada banyak teori dari pakar hukum menyangkut hukum mana yang akan
diberlakukan apabila terdapat kontrak dengan pola B to G, dari banyak teori
tersebut telah dikelompokkan menjadi 3 teori dan dari 3 teori tersebut hampir semuanya mengatakan
bahwa banyak pilihan hukum yang tersedia untuk pola B to G berikut pendapat salah satu
pakar hukum tersebut:
Pendapat Oscar Scachter:
“Normally a
contract between a State and a private person is governed by the law of the
State where it is made and performed. However, the parties are free under
private international law to designate the governing law of the contract and,
if they so wish, to withdraw the contract from the exclusive application of any
particular domestic legal system. If they fail to make a choice, the contract
would, under the private international law principles, be subject to the law of
the State with which it has the closest links. If the parties wish to designate
the applicable law, it is generally considered that they are free to do so
without limitation”
Begini terjemahan ringkasnya:
“pada umumnya hukum yang berlaku pada pola B to G adalah hukum nasional di mana
kontrak tersebut dibuat dan dilaksanakan. Manakala tidak ada pilihan hukum maka
hukum yang akan berlaku ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata
internasional.
Kesimpulan: Sesuai teori
ini maka hukum yang berlaku umum dalam kontrak PSC di Indonesia adalah hukum
nasional Indonesia.
PSC, Perjanjian
Internasional atau Perjanjian Biasa?
Adalah penting mengetahui apakah Production Sharing Contract itu termasuk
kategori perjanjian internasional atau kategori perjanjian biasa karena sesuai
historinya pemahaman yang keliru tentang pengkategorian ini pernah mendorong lahirnya
klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas
bumi oleh Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional”. Selanjutnya
permasalahan beda penafsiran ini memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang
No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan
kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan
teoritis tentang hukum perjanjian internasional.
Judicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi
Yang belum tahu apa itu Judicial Review
ini link-nya ya JUDICIAL REVIEW
Keputusan MK terhadap
judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (UU Migas), merupakan jurisprudensi landmark bagi perkembangan
hukum perjanjian internasional di Indonesia. Dalam kasus ini, beberapa
anggota DPR mempermasalahkan bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi
”Setiap Kontrak Kerja Sama (KPS) yang sudah ditandatangani harus diberitahukan
secara tertulis kepada DPR-RI” dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (2)
UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR”.
Mahkamah Konstitusi dalam judical
review ini telah melakukan koreksi terhadap distorsi yang terjadi dalam opini
public tentang apa itu perjanjian internasional. Mahkamah Konstitusi
menyatakan:
“Meskipun
bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat
yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”,
kami dapat menyetujui pendapat Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa
perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional
sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang
Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina
tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU Migas, tidak termasuk
Perjanjian Internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945, dan karena
itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan”.
Pertanyaan:
Jika PSC adalah bukan perjanjian internasional maka apakah kedudukan
hukum dari PSC terhadap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/Tax treaty
adalah lex specialis?
Terkait permasalahan tersebut, inilah pernyataan para petinggi DJP
yang diucapkan/dibagikan sebagai bahan rapat pada tanggal 11 Desember 2012:
“Ketentuan dalam PSC tidak bisa
otomatis menjadi lex specialis atas ketentuan dalam Tax Treaty dan juga
sebaliknya Tax Treaty tidak otomatis menjadi lex specialis terhadap PSC, jadi
PSC dan Tax Treaty tidak dapat saling “lex specialis” kecuali keduanya menyebut secara
khusus.”
Jika bukan lex specialis, lalu apa? Apakah subordinasi? Sejauh ini
belum ada yang mengatakan bahwa kedudukan hukum dari PSC adalah subordinasi
dari Tax Treaty.
Oke, semua teori sudah kugelar
disini tapi hingga diujung tulisan masih terasa "belum dapet soulnya” alias
belum ada yang benar-benar dapat meyakinkan kedudukan hukum PSC terhadap Tax Treaty
secara jelas dan secara gamblang, dan disinilah “drama nona dispute”
itu dimulai.
Pembahasan lebih lanjut tentang
hal ini akan dilanjut pada tulisan ke-4 yang akan mencoba membahas tentang
hukum nasional yang menjadi aturan pelaksanaan dari Production Sharing Contract. Give me time for break!!! Come on it’s “sepertiga
malam yang akhir”!
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
- Buku Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, I Wayan Parthiana, SH. MH
- Buku Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Prof. Huala Adolf, SH., LL.M., Ph.D.
- Buku Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, Benny Lubiantara
- Tulisan Prof DR. Damos Dumoli Agusman berjudul “ Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek Di Indonesia tenatng Hukum Perjanjian Internasional”pada http://e-library.kemlu.go.id
- http://www.jurnas.com/halaman/20/2013-06-08/250281
Pukul 2.00 malam, sunyi senyap
sambil mencoba merenungi semua kejadian siang tadi, tentu saja ESOK HARUS LEBIH
BAIK, karena Ramadhan telah dimulai. Selamat menjalankan ibadah puasa dan
maafkan setiap kesalahan tuturku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar