Rabu, 10 Juli 2013

Tulisan 3: Kedudukan Hukum Production Sharing Contract Di Hadapan Tax Treaty

BRANCH PROFIT TAX KKKS: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC?

Tulisan 3: Kedudukan Hukum Production Sharing Contract Di Hadapan Tax Treaty

Sekapur Sirih Selayang Pandang!
Untuk menurunkan tulisanku yang ke-3 ini daku butuh waktu yang relatif lama, effort yang relatif keras plus harus menempuh jalan berbatu dan berliku (aihhh segitunya). Sementara beberapa teman yang menanti2 tulisan ketigaku ini (ecieee….) secara berseloroh mengatakan “wah …kelihatannya “AR Migas” mulai kehabisan ide nih, tulisan ke-3 sudah dua minggu gak muncul2 (hey…. baru sadar ternyata 2 minggu sudah kulewatkan dengan hanya berkutat pada buku-buku Perjanjian Internasional hasil ubek-ubek Gramedia Matraman dan terpaku pada PSC milik salah satu “Wajib Pajak yang berada dalam pengawasanku” ----sambil menyelam minum air, sambil mempelajari kontrak sambil cari inspirasi tulisan). Tapi apa boleh buat, 2 buku tentang perjanjian internasional sudah habis dilahap dan discuss tak ada habis-habisnya dengan hubby yang Sarjana Hukum Perdata juga masih menyisakan perasaan “merasa belum cukup”. Akhirnya tulisan ke-3 tak kunjung muncul, maafkan ya!

Bukannya apa-apa, kalau sudah masuk ke permasalahan hukum yang notabene bukan bidangku jadi harus extra hati-hati, pertama karena takut digebukin sama para pakar2 hukum kalau salah kutip dan salah opini (lebay tingkat satu), kedua takut bikin malu suami yang sudah capek2 memberi kuliah singkat hukum menjelang tidur (lebay tingkat 2).

Para Pihak Dalam Production Sharing Contract
Para Pihak yang mengikat diri dalam kontrak PSC dalam sejarah kontrak kerjasama migas di Indonesia telah mengalami tiga kali perubahan, berikut ini penjelasanya:
1.       Era Kontrak Karya
Pada masa ini dimana kontrak kerjasama berbentuk konsesi para pihak yang menandatangani perjanjian adalah Negara dengan perusahaan dalam hal ini Pemerintah RI dengan kontraktor migas asing. Pola hubungan kerjasama seperti ini biasa disebut pola Business to Government (B to G).

2.       Era PSC  Dimana Negara Diwakili Pertamina
Pada masa ini dimana Negara diwakili oleh Pertamina (merupakan entitas bisnis) di dalam kontrak maka pola hubungan kerjasama yang terjalin berubah menjadi antara Perusahaan dengan Perusahaan dalam hal ini Pertamina dan kontraktor migas asing. Pola hubungan kerjasama seperti ini lazim disebut pola Business to Business (B to B).

3.       Era PSC Dimana Negara Diwakili BP Migas/SKK Migas
Ketika BP Migas didirikan dan menggantikan posisi Pertamina dalam berkontrak dengan kontraktor migas asing maka hubungan kerjasama menjadi kembali seperti era konsesi bedanya pada era konsesi Negara langsung menandatangani kontrak sedangkan dengan keberadaan BP Migas/SKK Migas maka Negara diwakili oleh BP Migas/SKK Migas dalam berkontrak. Karena kedudukan BP Migas/SKK Migas hanya sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah maka pola hubungan kerjasama yang terbentuk adalah B to G.

Menarik untuk disimak adalah pernyataan Prof. DR. Makmum Hakim Nasution (pakar PSC dari FHUI) yang diucapkan pada sidang bioremediasi Chevron, “Kedudukan subyek hukum para pihak dalam perjanjian (PSC) adalah subyek hukum perdata dan dalam pelaksanaan PSC di Indonesia, pemerintah sudah sepakat untuk memilih arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian jika ada perselisihan.” selanjutnya disebutkan bahwa Sampai saat ini belum pernah ada, temuan atau perselisihan dalam PSC migas, yang dibawa ke arbitrase. Mekanisme yang ditempuh hanya business to business (B to B) karena memang PSC adalah kontrak bisnis.
-------
Kesimpulan:
Walaupun para pihak yang mengikat kontrak dalam PSC adalah SKK Migas (yang bukan merupakan entitas bisnis) dengan kontraktor migas dengan pola B to G namun sejatinya kontrak PSC adalah kontrak bisnis. Berhubung kontrak PSC adalah kontrak bisnis maka mekanisme yang ditempuh kedua belah pihak dalam berkontrak cenderung mengacu ke pola B to B, namun ini tidak berarti merubah pola B to G karena berdasarkan teori kontrak B to G terdiri atas dua jenis yaitu kontrak ekonomi dan kontrak non ekonomi dan PSC adalah kontrak B to G jenis kontrak ekonomi. 

Hukum yang Dipakai dalam Pola B to G
Ada banyak teori dari pakar hukum menyangkut hukum mana yang akan diberlakukan apabila terdapat kontrak dengan pola B to G, dari banyak teori tersebut telah dikelompokkan menjadi 3 teori dan dari 3  teori tersebut hampir semuanya mengatakan bahwa banyak pilihan hukum yang tersedia untuk pola B to G berikut pendapat salah satu pakar hukum tersebut:
Pendapat Oscar Scachter:
“Normally a contract between a State and a private person is governed by the law of the State where it is made and performed. However, the parties are free under private international law to designate the governing law of the contract and, if they so wish, to withdraw the contract from the exclusive application of any particular domestic legal system. If they fail to make a choice, the contract would, under the private international law principles, be subject to the law of the State with which it has the closest links. If the parties wish to designate the applicable law, it is generally considered that they are free to do so without limitation”
Begini terjemahan ringkasnya: “pada umumnya hukum yang berlaku pada pola B to G adalah hukum nasional di mana kontrak tersebut dibuat dan dilaksanakan. Manakala tidak ada pilihan hukum maka hukum yang akan berlaku ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum perdata internasional.
Kesimpulan: Sesuai teori ini maka hukum yang berlaku umum dalam kontrak PSC di Indonesia adalah hukum nasional Indonesia.

PSC, Perjanjian Internasional atau Perjanjian Biasa?
Adalah penting mengetahui apakah Production Sharing Contract itu termasuk kategori perjanjian internasional atau kategori perjanjian biasa karena sesuai historinya pemahaman yang keliru tentang pengkategorian ini pernah mendorong lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) di bidang minyak dan gas bumi oleh Pemerintah RI adalah ”perjanjian internasional”. Selanjutnya permasalahan beda penafsiran ini memicu adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian internasional.

Judicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Yang belum tahu apa itu Judicial Review ini link-nya ya JUDICIAL REVIEW
Keputusan MK terhadap judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), merupakan jurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian internasional di Indonesia.  Dalam kasus ini, beberapa anggota DPR mempermasalahkan bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi ”Setiap Kontrak Kerja Sama (KPS) yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI” dianggap bertentangan dengan pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat  yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR”.

Mahkamah Konstitusi dalam judical review ini telah melakukan koreksi terhadap distorsi yang terjadi dalam opini public tentang apa itu perjanjian internasional.  Mahkamah Konstitusi menyatakan:
 “Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian internasional  lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, kami dapat menyetujui pendapat Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan 2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11 UUD 1945, dan karena itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak cukup beralasan”.

Pertanyaan:
Jika PSC adalah bukan perjanjian internasional maka apakah kedudukan hukum dari PSC terhadap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/Tax treaty adalah lex specialis?
Terkait permasalahan tersebut, inilah pernyataan para petinggi DJP yang diucapkan/dibagikan sebagai bahan rapat pada tanggal 11 Desember 2012:
“Ketentuan dalam PSC tidak bisa otomatis menjadi lex specialis atas ketentuan dalam Tax Treaty dan juga sebaliknya Tax Treaty tidak otomatis menjadi lex specialis terhadap PSC, jadi PSC dan Tax Treaty tidak dapat saling “lex specialis” kecuali keduanya menyebut secara khusus.”

Jika bukan lex specialis, lalu apa? Apakah subordinasi? Sejauh ini belum ada yang mengatakan bahwa kedudukan hukum dari PSC adalah subordinasi dari Tax Treaty.

Oke, semua teori sudah kugelar disini tapi hingga diujung tulisan masih terasa "belum dapet soulnya” alias belum ada yang benar-benar dapat meyakinkan kedudukan hukum PSC terhadap Tax Treaty secara jelas dan secara gamblang, dan disinilah “drama nona dispute” itu dimulai.

Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini akan dilanjut pada tulisan ke-4 yang akan mencoba membahas tentang hukum nasional yang menjadi aturan pelaksanaan dari Production Sharing Contract. Give me time for break!!! Come on it’s “sepertiga malam yang akhir”!



Daftar Bacaan dan Link:
  1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
  2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
  3. Buku Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, I Wayan Parthiana, SH. MH
  4. Buku Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Prof. Huala Adolf, SH., LL.M., Ph.D.
  5. Buku Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, Benny Lubiantara
  6. Tulisan Prof DR. Damos Dumoli Agusman berjudul “ Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek Di Indonesia tenatng Hukum Perjanjian Internasional”pada http://e-library.kemlu.go.id
  7. http://www.jurnas.com/halaman/20/2013-06-08/250281






Pukul 2.00 malam, sunyi senyap sambil mencoba merenungi semua kejadian siang tadi, tentu saja ESOK HARUS LEBIH BAIK, karena Ramadhan telah dimulai. Selamat menjalankan ibadah puasa dan maafkan setiap kesalahan tuturku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar