BRANCH PROFIT TAX KKKS: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC
PROLOG YANG SUNGGUH TIDAK FENTING!!!!
Diminggu kedua, semua kembali normal dan seperti biasa “petualangan malamku” kembali lagi dimulai. Yes, akhirnyaaaa!!!
Terlalu bersemangat akibat gairahmalam nulis yang over dosis karena banyak ide2
di kepala yang bertumpuk menjadikan kompieku terasa lambat kerjanya dan terasa
tak lagi dapat mengimbangi kecepatan tanganku dalam menuangkan ide tulisan
(wadawwww bombastisss). Merasa kompienya lelet banget maka ada beberapa
prosedur standar pengoperasian komputer yang kulanggar dan hasilnya suksessss
beratzzz KOMPIEKU MATEK.....alias rusak..alias monitornya gelapz.
Dengan tampang polos bin katro pagi2 laporan sama suami kalo “kompienya semalem tiba2 rusak” (tentu saja bagian aksi brutal pencet sana pencet sini tak diceritakan----karena pasti akan diperdengarkan kultum ditambah nasehat tentang kesabaran klo diceritakan---maaf ya yah!).
Terpaksa deh mengeluarkan laptop unyil, huaaa gak demen ngetik pake laptop...keyboardnya terlalu kecil untuk ukuran jari–jariku yang tak lagi lentik seperti jaman muda dulu (whattt!! pernah lentik ya...kirain emang dari bayi dah segede pisang emas gitu...ssssst).
Pasal 31D
Adapun beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan topik bahasan utama kita adalah sebagai berikut:
Pasal 37
Tepat pukul 4 pagi, nguantuk berat karena sudah “on
fire” dari pukul 12 melakukan apapun yang menyenangkan dan finally berakhir di
atas bantal lagi, good morning everybody!!!
Tulisan 4: Aturan Pelaksanaan Terkait Branch Profit Tax KKKS Di Indonesia
PROLOG YANG SUNGGUH TIDAK FENTING!!!!
Hmmmm tulisan
ke-4 yang lagi-lagi lambreta bambang turunnya (for your info:
lambreta bambang menurut kamus gaulnya Debby Sahertian mean luambatttt
buangeed). Tapi Alhamdulilah bisa juga akhirnya nyentuh kompie setelah
sebelumnya hampir tak tersentuh karena my lovely baby Afkar batuk dan
sepanjang malam diminggu pertama batuknya benar2 tak nyenyak tidurnya karena
setiap batuk, muntah dan gantiin baju lalu lanjut ngobrol tanpa topik yang
jelas dan terarah (Afkar mewarisi hobi ngobrol emaknya jadi walo tengah malam buta,
kalau dilihatnya ada yang terjaga pasti dipaksa ngobrol----Ayah & Syifa
yang tabah ya memiliki 2 orang yang hobi ngoceh, he he he).
Diminggu kedua, semua kembali normal dan seperti biasa “petualangan malamku” kembali lagi dimulai. Yes, akhirnyaaaa!!!
Terlalu bersemangat akibat gairah
Dengan tampang polos bin katro pagi2 laporan sama suami kalo “kompienya semalem tiba2 rusak” (tentu saja bagian aksi brutal pencet sana pencet sini tak diceritakan----karena pasti akan diperdengarkan kultum ditambah nasehat tentang kesabaran klo diceritakan---maaf ya yah!).
Terpaksa deh mengeluarkan laptop unyil, huaaa gak demen ngetik pake laptop...keyboardnya terlalu kecil untuk ukuran jari–jariku yang tak lagi lentik seperti jaman muda dulu (whattt!! pernah lentik ya...kirain emang dari bayi dah segede pisang emas gitu...ssssst).
Oke,
ini dia tulisan ke-4 yang semoga lebih mencerahkan dibanding tulisan ke-3 yang tak
jelas arahnya (jangankan nebak arah tulisan, nebak arah hidupku saja masih
bingung!! wkwkwk).
PERATURAN PELAKSANAAN BPT KKKS DI INDONESIA
Pelaksanaan PSC atau kontrak kerja sama migas di
Indonesia mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi. Ada beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang
relevan dengan topik bahasan utama, berikut pasal-pasal dimaksud:
Pasal 1 Angka 19
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau
bentuk kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih
menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pasal 6
(1)
Kegiatan
Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan
dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 19.
(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan:
a.
kepemilikan
sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.
pengendalian
manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.
modal dan
resiko
seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
---------
Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat minimal yang
harus dimuat dalam sebuah kontrak kerja sama dimana disitu “angka bagi hasil
antara pemerintah dan kontraktor” tidak dipersyaratkan untuk disebutkan sebagai
syarat minimal. Owh pantesan ya di PSC tidak menyebut angka bagi hasil itu
(hanya menyebut share sebelum pajak malah beberapa PSC tidak menyebut sama
sekali).
Pasal 31
(1)
Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan Negara yang
berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Penerimaan Negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terdiri atas:
a.
Pajak-pajak;
b.
Bea masuk,
dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.
Pajak
daerah dan retribusi daerah.
(3) Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.
Bagian
Negara;
b.
Pungutan
Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.
Bonus-bonus.
(4) Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa
kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan
sesuai dengan:
a.
Ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat
Kontrak kerja Sama ditandatangani; atau
b.
Ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
---------
Nyambung Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 diatas, ketentuan peraturan perundang-perundangan di bidang
perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama atau ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku yang dimaksud disini saat
ini adalah Undang-Undang Pajak
Penghasilan. Dan saat ini UU Pajak Penghasilan yang berlaku adalah Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Pasal 31D
Ketentuan mengenai perpajakan
bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi,
bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis
syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
-------
Peraturan Pemerintah yang dimaksud
dalam Pasal 31D tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 atau
lebih populer dengan sebutan PP Cost Recovery, berikut penjelasannya tentang PP
tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010
Dalam konsiderannya, PP 79 Tahun
2010 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 31D Undang-Undang Pajak
Penghasilan (bukan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi).
Ada beberapa pihak yang mempermasalahkan hal tersebut yaitu oleh karena
keberadaan PP 79 Tahun 2010 tidak diamanatkan oleh Undang-Undang Minyak dan Gas
Bumi maka kehadirannya dianggap tidak diperlukan.
Melihat dari runutan di atas,
dimana Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan kepada peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan (dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan) maka sudah
tepat PP 79 Tahun 2010 menyebut Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan (dan
bukan Undang-Undang Minyak Bumi) dalam konsiderannya.
Adapun beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan topik bahasan utama kita adalah sebagai berikut:
Pasal 24 ayat
(7)
Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan
persentase bagian Pemerintah yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan
dengan equity to be split yang didalamnya belum termasuk pajak
penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
---------
Besarnya pembagian produksi dalam kontrak PSC di Indonesia adalah share
sebelum pajak maka formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau
80%:20% atau 70%:30% tidak akan ditemukan pada dokumen kontrak PSC. Secara
garis besar dalam kontrak PSC disebutkan bahwa kontraktor akan dikenakan
pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
(ingat Pasal 6 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi di atas!!!! besaran bagi hasil
tidak termasuk dalam persyaratan minimalnya sebuah kontrak PSC jadi sah-sah
saja bila dalam kontrak PSC tidak memuat besaran split bagi hasil antara
kontraktor dan pemerintah).
Disinilah titik dispute itu, oleh karena dalam kontrak
PSC tidak menyebut formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20%
atau 70%:30% maka beberapa pihak menyimpulkan bahwa kontrak PSC tidak mengatur
besaran share bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah sehingga untuk
penghitungan PBDR/BPT digunakanlah tarif tax treaty yang dianggap lebih
memiliki pijakan hukum, benarkah demikian?
Simpan pertanyaan anda, karena pembahasan mengenai ini
akan dikupas pada Tulisan Ke-5.
---------
Pasal
25
(1) Penghasilan kena pajak untuk
1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung
berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal9 ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi
penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan
pada tahun-tahun sebelumnya.
(2)Dalam ha1 jumlah pengurang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak
berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
(3)Besarnya pajak penghasilan yang
terutang bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(4)Besarnya pajak penghasilan
yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya
peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak
penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5)Atas penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
setelah dikurangi
pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang
pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(6)Dalam ha1 kontraktor
berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diperlakukan
sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status
domisili dan/atau pengalihan participating interest atau kepemilikan
saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan
perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.
Penjelasan Pasal 37
Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan
penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan
besaran penerimaan negara sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja sama.
---------
Ini pasal yang dimaksudkan untuk menjaga agar penerimaan
negara tetap aman terjaga pada porsinya apabila terjadi gonjang ganjing upaya tax
planning, treaty shopping atau tax avoidance sekalipun.
Lagi-lagi simpan pertanyaan anda, karena pembahasan lebih
lengkap mengenai ini akan dikupas pada Tulisan Ke-5.
Bagian Penjelasan PP 79 Tahun 2010
1.
UMUM
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B).
Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang
sudah ada, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan
peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian Biaya Operasi yang telah
dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu, ketentuan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja
sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
dengan beberapa ketentuan peralihan.
-------
Kalimat “Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B)” ini masih merupakan lanjutan dari Pasal 37 beserta
Penjelasannya, dimana pada Pasal 37 ditegaskan masalah komitmen untuk menjaga
penerimaan negara agar tetap terjaga pada porsi yang seharusnya. Selain upaya tax
planning melalui treaty shopping ataupun pengalihan interest
yang disasar secara tepat oleh Pasal 37 maka kalimat pada Penjelasan Bagian
Umum tersebut ingin menegaskan kembali bahwa upaya-upaya apapun yang bertujuan
untuk mengurangi porsi penerimaan negara (apakah itu dengan pengalihan interest
ataupun pemindahan kantor pusat untuk tujuan treaty shopping) yang
semata-mata ditujukan agar mendapatkan tarif treaty yang lebih rendah maka
menurut PP 79 Tahun 2010 upaya-upaya tersebut termasuk kategori penyalahgunaan
penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Maka untuk menghindarinya dipasanglah Pasal 37 yang menjadi critical point untuk memagari
upaya-upaya penyalahgunaan penerapan P3B tersebut.
Oke segitu dulu tulisan ke-4, mudah-mudahan dalam waktu dekat tulisan ke-5
yang akan mengupas masalah aturan-aturan krusial yang bagi sebagian pihak
diperdebatkan.
Daftar Bacaan:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar