Selasa, 23 Juli 2013

Tulisan 4: Aturan Pelaksanaan Terkait Branch Profit Tax KKKS Di Indonesia

BRANCH PROFIT TAX KKKS: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC

Tulisan 4: Aturan Pelaksanaan Terkait Branch Profit Tax KKKS Di Indonesia

PROLOG YANG SUNGGUH TIDAK FENTING!!!!
Hmmmm tulisan ke-4 yang lagi-lagi lambreta bambang turunnya (for your info: lambreta bambang menurut kamus gaulnya Debby Sahertian mean luambatttt buangeed). Tapi Alhamdulilah bisa juga akhirnya nyentuh kompie setelah sebelumnya hampir tak tersentuh karena my lovely baby Afkar batuk dan sepanjang malam diminggu pertama batuknya benar2 tak nyenyak tidurnya karena setiap batuk, muntah dan gantiin baju lalu lanjut ngobrol tanpa topik yang jelas dan terarah (Afkar mewarisi hobi ngobrol emaknya jadi walo tengah malam buta, kalau dilihatnya ada yang terjaga pasti dipaksa ngobrol----Ayah & Syifa yang tabah ya memiliki 2 orang yang hobi ngoceh, he he he).

Diminggu kedua, semua kembali normal dan seperti biasa “petualangan malamku” kembali lagi dimulai. Yes, akhirnyaaaa!!!

Terlalu bersemangat akibat gairah malam nulis yang over dosis karena banyak ide2 di kepala yang bertumpuk menjadikan kompieku terasa lambat kerjanya dan terasa tak lagi dapat mengimbangi kecepatan tanganku dalam menuangkan ide tulisan (wadawwww bombastisss). Merasa kompienya lelet banget maka ada beberapa prosedur standar pengoperasian komputer yang kulanggar dan hasilnya suksessss beratzzz KOMPIEKU MATEK.....alias rusak..alias monitornya gelapz.

Dengan tampang polos bin katro pagi2 laporan sama suami kalo “kompienya semalem tiba2 rusak” (tentu saja bagian aksi brutal pencet sana pencet sini tak diceritakan----karena pasti akan diperdengarkan kultum ditambah nasehat tentang kesabaran klo diceritakan---maaf ya yah!).

Terpaksa deh mengeluarkan laptop unyil, huaaa gak demen ngetik pake laptop...keyboardnya terlalu kecil untuk ukuran jari–jariku yang tak lagi lentik seperti jaman muda dulu (whattt!! pernah lentik ya...kirain emang dari bayi dah segede pisang emas gitu...ssssst).
Oke, ini dia tulisan ke-4 yang semoga lebih mencerahkan dibanding tulisan ke-3 yang tak jelas arahnya (jangankan nebak arah tulisan, nebak arah hidupku saja masih bingung!! wkwkwk).

PERATURAN PELAKSANAAN BPT KKKS DI INDONESIA
Pelaksanaan PSC atau kontrak kerja sama migas di Indonesia mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Ada beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang relevan dengan topik bahasan utama, berikut pasal-pasal dimaksud:
Pasal 1 Angka 19
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 6
(1)    Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.
(2)    Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan:
a.       kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.      pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.       modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
---------
Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat minimal yang harus dimuat dalam sebuah kontrak kerja sama dimana disitu “angka bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor” tidak dipersyaratkan untuk disebutkan sebagai syarat minimal. Owh pantesan ya di PSC tidak menyebut angka bagi hasil itu (hanya menyebut share sebelum pajak malah beberapa PSC tidak menyebut sama sekali).

Pasal 31
(1)    Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan Negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)    Penerimaan Negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.       Pajak-pajak;
b.      Bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.       Pajak daerah dan retribusi daerah.
(3)    Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.       Bagian Negara;
b.      Pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.       Bonus-bonus.
(4)    Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan:
a.       Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak kerja Sama ditandatangani; atau
b.      Ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
---------
Nyambung Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 diatas, ketentuan peraturan perundang-perundangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama atau ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku yang dimaksud disini saat ini adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dan saat ini UU Pajak Penghasilan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 31D
Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
-------
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 31D tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 atau lebih populer dengan sebutan PP Cost Recovery, berikut penjelasannya tentang PP tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010
Dalam konsiderannya, PP 79 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan (bukan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi). Ada beberapa pihak yang mempermasalahkan hal tersebut yaitu oleh karena keberadaan PP 79 Tahun 2010 tidak diamanatkan oleh Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi maka kehadirannya dianggap tidak diperlukan.
Melihat dari runutan di atas, dimana Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan kepada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan) maka sudah tepat PP 79 Tahun 2010 menyebut Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan (dan bukan Undang-Undang Minyak Bumi) dalam konsiderannya.

Adapun beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan topik bahasan utama kita adalah sebagai berikut:
Pasal 24 ayat (7)
Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split yang didalamnya belum termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
---------
Besarnya pembagian produksi dalam kontrak PSC di Indonesia adalah share sebelum pajak maka formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% tidak akan ditemukan pada dokumen kontrak PSC. Secara garis besar dalam kontrak PSC disebutkan bahwa kontraktor akan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (ingat Pasal 6 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi di atas!!!! besaran bagi hasil tidak termasuk dalam persyaratan minimalnya sebuah kontrak PSC jadi sah-sah saja bila dalam kontrak PSC tidak memuat besaran split bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah).

Disinilah titik dispute itu, oleh karena dalam kontrak PSC tidak menyebut formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% maka beberapa pihak menyimpulkan bahwa kontrak PSC tidak mengatur besaran share bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah sehingga untuk penghitungan PBDR/BPT digunakanlah tarif tax treaty yang dianggap lebih memiliki pijakan hukum, benarkah demikian?

Simpan pertanyaan anda, karena pembahasan mengenai ini akan dikupas pada Tulisan Ke-5.
---------
Pasal 25 


(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2)Dalam ha1 jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
(3)Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(4)Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5)Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(6)Dalam ha1 kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.

Penjelasan Pasal 37
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan besaran penerimaan negara sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja sama.
---------
Ini pasal yang dimaksudkan untuk menjaga agar penerimaan negara tetap aman terjaga pada porsinya apabila terjadi gonjang ganjing upaya tax planning, treaty shopping atau tax avoidance sekalipun.

Lagi-lagi simpan pertanyaan anda, karena pembahasan lebih lengkap mengenai ini akan dikupas pada Tulisan Ke-5.

Bagian Penjelasan PP 79 Tahun 2010
1.       UMUM
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu, ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan beberapa ketentuan peralihan.

-------
Kalimat “Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)” ini masih merupakan lanjutan dari Pasal 37 beserta Penjelasannya, dimana pada Pasal 37 ditegaskan masalah komitmen untuk menjaga penerimaan negara agar tetap terjaga pada porsi yang seharusnya. Selain upaya tax planning melalui treaty shopping ataupun pengalihan interest yang disasar secara tepat oleh Pasal 37 maka kalimat pada Penjelasan Bagian Umum tersebut ingin menegaskan kembali bahwa upaya-upaya apapun yang bertujuan untuk mengurangi porsi penerimaan negara (apakah itu dengan pengalihan interest ataupun pemindahan kantor pusat untuk tujuan treaty shopping) yang semata-mata ditujukan agar mendapatkan tarif treaty yang lebih rendah maka menurut PP 79 Tahun 2010 upaya-upaya tersebut termasuk kategori penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Maka untuk menghindarinya dipasanglah Pasal 37 yang menjadi critical point untuk memagari upaya-upaya penyalahgunaan penerapan P3B tersebut.
Oke segitu dulu tulisan ke-4, mudah-mudahan dalam waktu dekat tulisan ke-5 yang akan mengupas masalah aturan-aturan krusial yang bagi sebagian pihak diperdebatkan.

Daftar Bacaan:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010




Tepat pukul 4 pagi, nguantuk berat karena sudah “on fire” dari pukul 12 melakukan apapun yang menyenangkan dan finally berakhir di atas bantal lagi, good morning everybody!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar