Rabu, 31 Juli 2013

Tulisan 5: TARIF PSC DAN NO OFFENSE PLEASE!!!!


BRANCH PROFIT TAX: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC?


INTERMEZZZO
Bulan ini sungguh tidak produktif, banyak hal yang membuatku penasaran sehingga fokus terpecah, tengok kanan tengok kiri. Asyik dengan satu hal lalu pindah asyik dengan hal lain, terus begitu hingga akhirnya tersadar OMG janji tulisan ke-5 ku belum kelar juga ya!!! 
Bulan Ramadhan begini, jam masuk kerja di kantorku tak begitu berubah kayak kantor-kantor pemerintah yang lain. Pagi tetep sama kayak biasanya (for your info ya, dikantorku jam masuk kerja barengan sama kokok ayam jadi kebayang kan dari rumah harus jam berapa?)------jangan-jangan penulisnya nyambi jadi OB nih jadinya brangkat kerja balapan sama kokok ayam.
Untuk jam bubar kantor, kami baru pulang jam 4.30, nyesek banget sementara departemen sebelah boleh pulang kapan sajah semau-mauya. Wiiih departemen apaan tuh enak banget boleh pulang semau-maunya, eeee....DEPARTEMENT STORE aka emol. (owh pantesan!!). Yang bikin nyesek lagi adalah ketika tempo hari jam menunjukkan pukul 3 sore, salah seorang pren AR sebelah kubikku nelpon Wajib Pajak untuk mengklarifikasi beberapa hal dan tak berapa lama nggremeng sendiri begitu tau jam segitu kantor Wajib Pajak sudah tutup “swasta aja patuh sama jam kerja Menpan kok, lha ini kita yang instansi pemerintah malah mbalelo pulang jam 4.30”. Sing sabar yoooo pren, namanya juga prajurit yang harus patuh pada sabdo pandhito ratu alias THE VERY BERRY BIG BOSSS!!
Okayyy, saatnya masuk ke topik!!!!

KEWAJIBAN KONTRAKTOR: PAJAK DAN PNBP
Kewajiban kontraktor sesuai Pasal 31 ayat 5, 6, 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi adalah sebagai berikut:
(1)Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan Negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)Penerimaan Negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.Pajak-pajak;
b.Bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.Pajak daerah dan retribusi daerah.
(3)Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.Bagian Negara;
b.Pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.Bonus-bonus.
(4)Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan:
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau
b.  Ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Kontraktor wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan PNBP, untuk penerimaan negara yang berupa pajak terdiri atas:
-Pajak Perseroan (PPs) atau Pajak Penghasilan Pasal 25
-Pajak Dividen Bunga dan Royalti (PBDR) atau PPh Pasal 26/BPT

Adapun tarif pajak penghasilan mengikuti besaran tarif yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali megalami perubahan tarif sedangkan untuk PBDR mengacu pada tarif PPh Pasal 26 ayat (4) yaitu 20%.

BAGI HASIL: BAGIAN PEMERINTAH DAN BAGIAN KONTRAKTOR
Merunut kebelakang, historinya dulu bagi hasil dalam kontrak migas di Indonesia adalah angka bersih (net after tax), namun kemudian ada kewajiban kontraktor untuk membayar pajak-pajak di Indonesia yang besarannya menyesuaikan dengan peraturan perundangan perpajakan sehingga kesepakatan bagi hasil di dalam kontrak disebutkan nilai gross sebelum pajak.

Inilah mengapa kontrak PSC di Indonesia formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% tidak akan ditemukan pada dokumen kontrak PSC. Kesepakatan bagi hasil sebelum pajak tersebut biasanya dituangkan dalam Section VI, berikut saya kutipkan:

For Crude Oil production of the Contract Area other than those under paragraphs (a) and (b) above, each year PERTAMINA shall be entitled to take and receive 71.1538% and CONTRACTORS shall be entitled to take and receive 28.8462%. Crude Oil under this subparagraph (c) represents a separate production segment from the others.

A.      Share sebelum pajak yang disepakati dalam kontrak PSC adalah:
-Kontraktor   : 28.8462%
-Pemerintah  : 71.1538%

B.      Pajak-Pajak yang harus dibayar kontraktor adalah:
-PPs atau Pajak Penghasilan Pasal 25                                 35.0000%
-PBDR/BPT atau PPh Pasal 26/BPT                           13.0000% +  (20% x(100%-35%)
Total pajak-pajak yang harus dibayar kontraktor adalah  48.0000%

C.      Bagian Kontraktor
-Share sebelum pajak           28.8462%
-Pajak-pajak                          13.8462% -  (48%x28.8462%)
Bagian Kontraktor                15.0000%

D.      Bagian Pemerintah
-Share sebelum pajak           71.1538%
-Pajak-pajak                         13.8462%-  (48%x28.8462%)
Bagian Pemerintah                  85.0000%

Clear ya, darimana split bagi hasil 85%:15% itu berasal? Si miss dispute-nya sudah mulai terurai. Jadi kalau PBDR/BPT yang dibayar kontraktor menggunakan tarif tax treaty yang lebih rendah dari 20% maka bagian pemerintah tidak akan mencapai 85%.


APA KATA KONVENSI WINA (VCLT) SOAL TAX TREATY?
Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, mengatur tentang perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Apa kata Konvensi Wina tentang sebuah treaty?

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT) Article 31 (1): General Rule of Interpretation

“A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the ligt of its object and purpose

Suatu perjanjian (treaty) harus diberi interpretasi dengan itikad baik dan diartikan sesuai dengan istilah yang sesuai dengan definisi yang diberikan di dalamnya dalam kerangka tujuan dari treaty tersebut.

Dalam kaitannya dengan P3B, ketentuan tersebut mengandung dua hal yang pokok yaitu intepretasi dari suatu istilah dan interpretasi atas hak pemajakan terhadap jenis penghasilan tertentu. Interpretasi yang akan menimbulkan pengenaan pajak berganda, tidak sesuai dengan jiwa Article 31(1), yaitu ...in the light of its object and purpose.."

Tujuan dari suatu P3B adalah menghindarkan terjadinya pengenaan pajak berganda, jadi interpretasi yang diberikan harus dalam konteks tujuan P3B tersebut.
Sepakat ya bahwa berlandaskan pada good faith, treaty itu semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak berganda, dan bukannya meluas pada tujuan lain yaitu adanya itikad tidak baik untuk mengurangi bagian pemerintah dengan berlindung dibalik tarif tax treaty.

MENIMBANG PELUANG DI PENGADILAN PAJAK
Bicara tentang kontraktor yang masih bertahan untuk menggunakan tarif tax treaty dalam menghitung kewajiban PBDR/BPT-nya maka mau tak mau kita harus bicara tentang menghitung peluang mereka di Pengadilan Pajak, karena ketika kontraktor menggunakan tarif treaty maka auditor BPKP pastinya akan menjadikan selisih tarif tax treaty dengan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) tersebut sebagai temuan hasil audit dimana temuan tersebut akan dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi untuk ditagih sampai dengan upaya penerbitan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Upaya hukum yang dapat dilakukan kontraktor adalah berupa pengajuan Keberatan ke Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus lalu pengajuan Gugatan/Banding di Pengadilan Pajak. Sedikit bocoran, baik di tingkat Keberatan maupun Banding, beberapa perkara yang sudah selesai diputuskan seluruhnya memenangkan pemerintah. Hmmmmm!

DISPUTE ITU AKHIRNYA BENAR-BENAR BERAKHIR
Perbedaan pemahaman antara beberapa kontraktor (catat ya: hanya beberapa kontraktor) dan pemerintah soal tarif PBDR/BPT idealnya memang harus diakhiri, dan alternatif solusi yang pernah ditawarkan adalah dengan negoisasi ulang tarif tax treaty sehingga setara dengan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) atau amandemen kontrak PSC. Dan pilihan itu akhirnya jatuh pada amandemen kontrak yang dimulai pada model PSC 2011 dengan tambahan ketentuan tidak diperbolehkannya penggunaan tarif tax treaty dalam menghitung PBDR/BPT kontraktor.

Namun bagi beberapa pihak amandemen kontrak tersebut diartikan secara sepihak bahwa oleh karena baru pada model PSC 2011 disebutkan larangan menggunakan tarif treaty dalam menghitung PBDR/BPT maka itu diartikan bahwa pada era sebelum model PSC 2011 penggunaan tarif treaty diperbolehkan. Bila segala sesuatu dibalik-balik seperti itu lalu dimana letak “good faith” itu ya???

Daftar Bacaan: 
1.       Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi; 
2.       Buku Benny Lubiantara--Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas; 
3.       Beberapa kontrak PSC 
4.       Beberapa Putusan Pengadilan Pajak 
5.       www.pajakonline.com


 


2 komentar:

  1. Wow, blog nya bagus mba. :D
    Salah satu blog yang asik buat dibaca yg bahas soal ekonomi migas kayak punya pak Benny L. Soalnya dulu saya susah banget buat nemuin situs khusus ttg ekonomi migas yg cara bahasnya enak ky gini, hehe.
    Oya, saya juga udah baca dikit buku yg panduan pajak migas yg dibuat oleh tim KPP Migas, bagus mba. :salut: :DD

    Btw, saya adik angkatan mba di DJP dari STAN juga nih. :))
    Kalo berkenan, bolehkan minta almat email mba? Ya kalo mungkin adayg pgn saya tanyain, diskusi ato bincang2 gitu soal ekonomi migas? :)

    Termia kasih..

    Salam,
    Wisnu Widadi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kunjungannya, yuk mari sama-sama belajar. Email saya andayati@gmail.com

      Hapus