Rabu, 19 Februari 2014

PPN dan PPh Atas Transaksi Pemanfaatan Jasa Dari Luar Negeri Dengan Pemberi Jasa Yang Belum Ber-NPWP



A.      SEATTLE MEAN SLEEP
Menjelang subuh yang basah disertai suara tetesan air sisa hujan yang turun saat jauh sebelum subuh tadi memang sebuah symphony yang merdu untuk merapatkan selimut dan melanjutkan tidur, apalagi ditambah hawa dingin yang menusuk tulang karena beberapa hari ini Jakarta terus menerus diguyur hujan. Teringat film lawas yang dibintangi Tom Hank dan Meg Ryan “Sleepless In Seattle” yang belum lama ini kutonton lagi untuk kesekian kalinya. Mengapa Seattle?? Bukan kota lain..ini pertanyaanku duluuu sekali saat nonton film ini, rupanya dari berbagai bacaan ada satu hal tentang Seattle yang membuat kota ini jadi judul sekaligus tempat kejadian perkara film tersebut.

Seattle adalah sebuah kota di AS dimana disana memiliki musim hujan yang jauh lebih panjang dibanding kota-kota lain, 9 bulan dalam kurun 12 bulan!!! Terbayang kan betapa sejuk dan dinginnya kota itu??? Berbanding lurus dengan hawa dingin dan hujan adalah keinginan untuk selalu tidur dan tidur, namun sebaliknya di film ini diceritakan seorang pria yang semenjak meninggalnya sang istri menjadi sleepless alias gak bisa tidur.

Kadang-kadang kesedihan dan kehilangan yang mendadak bisa membuat seseorang menjadi berada dalam kondisi “selalu terjaga” disaat seharusnya mereka tertidur. Ini karena manusia punya memori yang kuat didalam pikirannya, memori yang mampu mengingat ber-giga2 kenangan baik kenangan manis ataupun kenangan pahit yang sayangnya tak mudah untuk di-setting kapan kenangan-kenangan tersebut boleh melintas dan kapan tak boleh melintas. Ingat kan sebuah ungkapan “aku diam tapi dalam pikiranku aku sibuk” !!! hmmmm!!!

B.      PEMBERI JASA TAK PUNYA NPWP
Pada tulisan sebelumnya dinyatakan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean dibedakan apakah pemberi  jasa sudah BUT atau belum BUT dengan memperhatikan time test yang secara umum diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan secara khusus diatur didalam tax treaty masing-masing Negara.

Tentunya tidak masalah jika pemberi jasa belum memenuhi syarat sebagai BUT dan dia tidak ber-NPWP karena secara pasti dia akan dikenakan PPh Pasal 26 (dengan batasan-batasan sebagaimana saya sebutkan pada tulisan sebelumnya) dan PPN atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean.

Menjadi masalah ketika pemberi jasa sudah memenuhi syarat sebagai BUT namun tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP, apakah akan dikenakan PPh Pasal 26 ataukah PPh Pasal 23?? Lalu apakah akan dikenakan PPN atas pemanfaatan JKP Luar Negeri atau tidak.

C.      PASAL 26  ATAU  PASAL 23
 
Melebihi time test otomatis BUT??

Pendapat 1: Dikenakan PPh Pasal 23
Wajib Pajak Luar Negeri yang memberikan jasa melebihi time test secara teori dianggap sudah timbul BUT dan diperlakukan sebagai BUT sekalipun belum/tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.

Alasannya:
-Persyaratan memiliki NPWP tidak termasuk penentu timbul tidaknya suatu BUT
-tidak ada ketentuan yang mengakibatkan status Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) BUT berubah menjadi WPLN Non BUT hanya karena tidak memiliki NPWP
-pemotongan PPh Pasal 26 hanya berlaku bagi WPLN selain BUT. PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dikenakan terhadap perusahaan luar negeri yang berasal dari negara mitra P3B tetapi tidak dapat menunjukkan SKD atau  berasal dari negara non mitra P3B di mana kegiatan pemberian jasa di Indonesia tidak melebihi jangka waktu 60 hari sebagaimana di atur dalam Pasal 2 ayat (5) huruf m UU PPh sebagaimana dibahas pada tulisan sebelumnya

Jika Dianggap Sudah Timbul BUT
Kewajiban perpajakan  Bentuk Usaha Tetap diatur dalam Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, berikut kutipannya:

Pasal 2 ayat (1a)
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Kata-kata dipersamakan disini mengandung pengertian bahwa sejatinya antara BUT dan Wajib Pajak Badan dalam negeri adalah “berbeda”  namun untuk tujuan perpajakan dianggap “sama”. Sisi berbeda disini adalah karena BUT adalah Subjek Pajak Luar Negeri dan sisi sama disini adalah karena BUT memiliki kewajiban yang sama dengan Wajib Pajak Badan dalam negeri lainnya, termasuk kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau mengajukan permohonan untuk dikukuhkan sebagai PKP dan juga kewajiban pelaporan pajak-pajak lainnya.

Rata-rata BUT-BUT ini enggan untuk mendaftarkan diri dan atau mengajukan permohonan pengukuhan PKP disamping karena mungkin mereka bertransaksi dengan WPDN hanya sekali saja atau mungkin juga mereka memang tidak menghendaki dikenai kewajiban perpajakan seperti WP badan dalam negeri.

Dikenakan Pasal 23 dan Tidak Ada PPN
Undang-Undang PPh yang baru mengakomodir mekanisme pemotongan PPh Pasal 23 bagi yang tidak ber-NPWP yaitu di Pasal 23 ayat (1a). Disitu ditegaskan bahwa apabila penerima penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% dari tarif yang seharusnya. 

Wajib Pajak yang dimaksudkan disini menurut Pasal 23 UU PPh adalah sangat jelas yaitu WPDN atau BUT. Jadi, masalah BUT memiliki atau tidak memiliki NPWP dalam rangka pemotongan PPh Pasal 23 adalah hanya berakibat pada perbedaan besarnya tarif pemotongan yang akan dikenakan, tidak lantas mengakibatkan penerapan pemotongan PPh Pasal 26.
 
Pasal 3A ayat 1 UU PPN , intinya jika sudah dianggap timbul BUT maka lingkupnya bukan lagi pemanfaatan JKP LN melainkan penyerahan dalam negeri yang mana pengenaan PPN-nya mengikuti mekanisme umumnya WP Badan Dalam Negeri.

Pengenaan PPN dengan mekanisme umum tidak mungkin dilakukan karena jangankan dikukuhkan menjadi PKP ber-NPWP saja belum/tidak, maka PPN atas Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang telah berubah pengertian menjadi Penyerahan didalam daerah pabean ini menjadi tidak dapat dipenuhi.

Pendapat 2: Dikenakan PPh Pasal 26
Wajib Pajak Luar Negeri yang memberikan jasa melebihi time test tidak dapat dianggap sebagai BUT karena dia belum ber-NPWP sehingga pengenaan Pasal 26 dipandang lebih pas.

Alasan:
-Pemberi jasa yang telah melebihi time test tapi belum ber-NPWP dan belum dikukuhkan sebagai PKP  belum dapat dimelekati kewajiban sebagai BUT sehingga mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi sulit dipenuhi sesuai ketentuan.
-Belum adanya aturan yang secara tegas mengatur apakah transaksi seperti ini Objek PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26.

Di Kenakan Pasal 26 dan PPN
Cek tulisan ini Pajak-Pajak Terkait Pemanfaatan Jasa Dari Luar Negeri

Hitung-Hitungan Untung Rugi
Sebelum Pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang PPh yang mengatur tentang pengenaan tarif pemotongan yang lebih tinggi 100% dari tarif yang seharusnya terhadap penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP diberlakukan, pilihan untuk mengenakan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 akan menghasilkan hitungan untung rugi yang berbeda baik dari sisi Wajib Pajak maupun dari sisi penerimaan negara.
Setelah berlakunya Pasal 23 ayat (1a) tersebut, pilihan (kalau boleh dibilang pilihan) untuk mengenakan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26 yang semata-mata didasarkan pada hitungan untung rugi perlu ditimbang ulang.

D.      KESIMPULAN
Selama belum ada peraturan yang mengatur secara tegas, maka dari sisi Wajib Pajak mengenakan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 apapun alasannya tetap merupakan sebuah pilihan. Pun sebaliknya bagi Account Representative/Pemeriksa apakah akan mengenakan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 dengan alasan apapun, itu juga merupakan pilihan. Jadi mari saling menghormati pilihan masing-masing. No offense please!!!



Sumber:
Dari berbagai sumber




Mulai ditulis beberapa hari yang lalu, tersendat-sendat karena masalah setting mood yang gak pas-pas dan finally berakhir subuh ini bukan karena setting mood yang udah presisi tapi semata-mata karena sleepless dan dalam rangka ingin membersamai senyap yang indah!!! Salam Insomnia----