Rabu, 31 Juli 2013

Tulisan 5: TARIF PSC DAN NO OFFENSE PLEASE!!!!


BRANCH PROFIT TAX: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC?


INTERMEZZZO
Bulan ini sungguh tidak produktif, banyak hal yang membuatku penasaran sehingga fokus terpecah, tengok kanan tengok kiri. Asyik dengan satu hal lalu pindah asyik dengan hal lain, terus begitu hingga akhirnya tersadar OMG janji tulisan ke-5 ku belum kelar juga ya!!! 
Bulan Ramadhan begini, jam masuk kerja di kantorku tak begitu berubah kayak kantor-kantor pemerintah yang lain. Pagi tetep sama kayak biasanya (for your info ya, dikantorku jam masuk kerja barengan sama kokok ayam jadi kebayang kan dari rumah harus jam berapa?)------jangan-jangan penulisnya nyambi jadi OB nih jadinya brangkat kerja balapan sama kokok ayam.
Untuk jam bubar kantor, kami baru pulang jam 4.30, nyesek banget sementara departemen sebelah boleh pulang kapan sajah semau-mauya. Wiiih departemen apaan tuh enak banget boleh pulang semau-maunya, eeee....DEPARTEMENT STORE aka emol. (owh pantesan!!). Yang bikin nyesek lagi adalah ketika tempo hari jam menunjukkan pukul 3 sore, salah seorang pren AR sebelah kubikku nelpon Wajib Pajak untuk mengklarifikasi beberapa hal dan tak berapa lama nggremeng sendiri begitu tau jam segitu kantor Wajib Pajak sudah tutup “swasta aja patuh sama jam kerja Menpan kok, lha ini kita yang instansi pemerintah malah mbalelo pulang jam 4.30”. Sing sabar yoooo pren, namanya juga prajurit yang harus patuh pada sabdo pandhito ratu alias THE VERY BERRY BIG BOSSS!!
Okayyy, saatnya masuk ke topik!!!!

KEWAJIBAN KONTRAKTOR: PAJAK DAN PNBP
Kewajiban kontraktor sesuai Pasal 31 ayat 5, 6, 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi adalah sebagai berikut:
(1)Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan Negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)Penerimaan Negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.Pajak-pajak;
b.Bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.Pajak daerah dan retribusi daerah.
(3)Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.Bagian Negara;
b.Pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.Bonus-bonus.
(4)Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan:
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau
b.  Ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.

Kontraktor wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan PNBP, untuk penerimaan negara yang berupa pajak terdiri atas:
-Pajak Perseroan (PPs) atau Pajak Penghasilan Pasal 25
-Pajak Dividen Bunga dan Royalti (PBDR) atau PPh Pasal 26/BPT

Adapun tarif pajak penghasilan mengikuti besaran tarif yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali megalami perubahan tarif sedangkan untuk PBDR mengacu pada tarif PPh Pasal 26 ayat (4) yaitu 20%.

BAGI HASIL: BAGIAN PEMERINTAH DAN BAGIAN KONTRAKTOR
Merunut kebelakang, historinya dulu bagi hasil dalam kontrak migas di Indonesia adalah angka bersih (net after tax), namun kemudian ada kewajiban kontraktor untuk membayar pajak-pajak di Indonesia yang besarannya menyesuaikan dengan peraturan perundangan perpajakan sehingga kesepakatan bagi hasil di dalam kontrak disebutkan nilai gross sebelum pajak.

Inilah mengapa kontrak PSC di Indonesia formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% tidak akan ditemukan pada dokumen kontrak PSC. Kesepakatan bagi hasil sebelum pajak tersebut biasanya dituangkan dalam Section VI, berikut saya kutipkan:

For Crude Oil production of the Contract Area other than those under paragraphs (a) and (b) above, each year PERTAMINA shall be entitled to take and receive 71.1538% and CONTRACTORS shall be entitled to take and receive 28.8462%. Crude Oil under this subparagraph (c) represents a separate production segment from the others.

A.      Share sebelum pajak yang disepakati dalam kontrak PSC adalah:
-Kontraktor   : 28.8462%
-Pemerintah  : 71.1538%

B.      Pajak-Pajak yang harus dibayar kontraktor adalah:
-PPs atau Pajak Penghasilan Pasal 25                                 35.0000%
-PBDR/BPT atau PPh Pasal 26/BPT                           13.0000% +  (20% x(100%-35%)
Total pajak-pajak yang harus dibayar kontraktor adalah  48.0000%

C.      Bagian Kontraktor
-Share sebelum pajak           28.8462%
-Pajak-pajak                          13.8462% -  (48%x28.8462%)
Bagian Kontraktor                15.0000%

D.      Bagian Pemerintah
-Share sebelum pajak           71.1538%
-Pajak-pajak                         13.8462%-  (48%x28.8462%)
Bagian Pemerintah                  85.0000%

Clear ya, darimana split bagi hasil 85%:15% itu berasal? Si miss dispute-nya sudah mulai terurai. Jadi kalau PBDR/BPT yang dibayar kontraktor menggunakan tarif tax treaty yang lebih rendah dari 20% maka bagian pemerintah tidak akan mencapai 85%.


APA KATA KONVENSI WINA (VCLT) SOAL TAX TREATY?
Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, mengatur tentang perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Apa kata Konvensi Wina tentang sebuah treaty?

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT) Article 31 (1): General Rule of Interpretation

“A treaty shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the ligt of its object and purpose

Suatu perjanjian (treaty) harus diberi interpretasi dengan itikad baik dan diartikan sesuai dengan istilah yang sesuai dengan definisi yang diberikan di dalamnya dalam kerangka tujuan dari treaty tersebut.

Dalam kaitannya dengan P3B, ketentuan tersebut mengandung dua hal yang pokok yaitu intepretasi dari suatu istilah dan interpretasi atas hak pemajakan terhadap jenis penghasilan tertentu. Interpretasi yang akan menimbulkan pengenaan pajak berganda, tidak sesuai dengan jiwa Article 31(1), yaitu ...in the light of its object and purpose.."

Tujuan dari suatu P3B adalah menghindarkan terjadinya pengenaan pajak berganda, jadi interpretasi yang diberikan harus dalam konteks tujuan P3B tersebut.
Sepakat ya bahwa berlandaskan pada good faith, treaty itu semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak berganda, dan bukannya meluas pada tujuan lain yaitu adanya itikad tidak baik untuk mengurangi bagian pemerintah dengan berlindung dibalik tarif tax treaty.

MENIMBANG PELUANG DI PENGADILAN PAJAK
Bicara tentang kontraktor yang masih bertahan untuk menggunakan tarif tax treaty dalam menghitung kewajiban PBDR/BPT-nya maka mau tak mau kita harus bicara tentang menghitung peluang mereka di Pengadilan Pajak, karena ketika kontraktor menggunakan tarif treaty maka auditor BPKP pastinya akan menjadikan selisih tarif tax treaty dengan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) tersebut sebagai temuan hasil audit dimana temuan tersebut akan dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi untuk ditagih sampai dengan upaya penerbitan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Upaya hukum yang dapat dilakukan kontraktor adalah berupa pengajuan Keberatan ke Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus lalu pengajuan Gugatan/Banding di Pengadilan Pajak. Sedikit bocoran, baik di tingkat Keberatan maupun Banding, beberapa perkara yang sudah selesai diputuskan seluruhnya memenangkan pemerintah. Hmmmmm!

DISPUTE ITU AKHIRNYA BENAR-BENAR BERAKHIR
Perbedaan pemahaman antara beberapa kontraktor (catat ya: hanya beberapa kontraktor) dan pemerintah soal tarif PBDR/BPT idealnya memang harus diakhiri, dan alternatif solusi yang pernah ditawarkan adalah dengan negoisasi ulang tarif tax treaty sehingga setara dengan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) atau amandemen kontrak PSC. Dan pilihan itu akhirnya jatuh pada amandemen kontrak yang dimulai pada model PSC 2011 dengan tambahan ketentuan tidak diperbolehkannya penggunaan tarif tax treaty dalam menghitung PBDR/BPT kontraktor.

Namun bagi beberapa pihak amandemen kontrak tersebut diartikan secara sepihak bahwa oleh karena baru pada model PSC 2011 disebutkan larangan menggunakan tarif treaty dalam menghitung PBDR/BPT maka itu diartikan bahwa pada era sebelum model PSC 2011 penggunaan tarif treaty diperbolehkan. Bila segala sesuatu dibalik-balik seperti itu lalu dimana letak “good faith” itu ya???

Daftar Bacaan: 
1.       Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi; 
2.       Buku Benny Lubiantara--Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas; 
3.       Beberapa kontrak PSC 
4.       Beberapa Putusan Pengadilan Pajak 
5.       www.pajakonline.com


 


Selasa, 23 Juli 2013

Tulisan 4: Aturan Pelaksanaan Terkait Branch Profit Tax KKKS Di Indonesia

BRANCH PROFIT TAX KKKS: TARIF TAX TREATY ATAU TARIF PSC

Tulisan 4: Aturan Pelaksanaan Terkait Branch Profit Tax KKKS Di Indonesia

PROLOG YANG SUNGGUH TIDAK FENTING!!!!
Hmmmm tulisan ke-4 yang lagi-lagi lambreta bambang turunnya (for your info: lambreta bambang menurut kamus gaulnya Debby Sahertian mean luambatttt buangeed). Tapi Alhamdulilah bisa juga akhirnya nyentuh kompie setelah sebelumnya hampir tak tersentuh karena my lovely baby Afkar batuk dan sepanjang malam diminggu pertama batuknya benar2 tak nyenyak tidurnya karena setiap batuk, muntah dan gantiin baju lalu lanjut ngobrol tanpa topik yang jelas dan terarah (Afkar mewarisi hobi ngobrol emaknya jadi walo tengah malam buta, kalau dilihatnya ada yang terjaga pasti dipaksa ngobrol----Ayah & Syifa yang tabah ya memiliki 2 orang yang hobi ngoceh, he he he).

Diminggu kedua, semua kembali normal dan seperti biasa “petualangan malamku” kembali lagi dimulai. Yes, akhirnyaaaa!!!

Terlalu bersemangat akibat gairah malam nulis yang over dosis karena banyak ide2 di kepala yang bertumpuk menjadikan kompieku terasa lambat kerjanya dan terasa tak lagi dapat mengimbangi kecepatan tanganku dalam menuangkan ide tulisan (wadawwww bombastisss). Merasa kompienya lelet banget maka ada beberapa prosedur standar pengoperasian komputer yang kulanggar dan hasilnya suksessss beratzzz KOMPIEKU MATEK.....alias rusak..alias monitornya gelapz.

Dengan tampang polos bin katro pagi2 laporan sama suami kalo “kompienya semalem tiba2 rusak” (tentu saja bagian aksi brutal pencet sana pencet sini tak diceritakan----karena pasti akan diperdengarkan kultum ditambah nasehat tentang kesabaran klo diceritakan---maaf ya yah!).

Terpaksa deh mengeluarkan laptop unyil, huaaa gak demen ngetik pake laptop...keyboardnya terlalu kecil untuk ukuran jari–jariku yang tak lagi lentik seperti jaman muda dulu (whattt!! pernah lentik ya...kirain emang dari bayi dah segede pisang emas gitu...ssssst).
Oke, ini dia tulisan ke-4 yang semoga lebih mencerahkan dibanding tulisan ke-3 yang tak jelas arahnya (jangankan nebak arah tulisan, nebak arah hidupku saja masih bingung!! wkwkwk).

PERATURAN PELAKSANAAN BPT KKKS DI INDONESIA
Pelaksanaan PSC atau kontrak kerja sama migas di Indonesia mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Ada beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang relevan dengan topik bahasan utama, berikut pasal-pasal dimaksud:
Pasal 1 Angka 19
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 6
(1)    Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.
(2)    Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan:
a.       kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
b.      pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
c.       modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
---------
Pasal 6 ayat (2) mengatur syarat minimal yang harus dimuat dalam sebuah kontrak kerja sama dimana disitu “angka bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor” tidak dipersyaratkan untuk disebutkan sebagai syarat minimal. Owh pantesan ya di PSC tidak menyebut angka bagi hasil itu (hanya menyebut share sebelum pajak malah beberapa PSC tidak menyebut sama sekali).

Pasal 31
(1)    Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan Negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)    Penerimaan Negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.       Pajak-pajak;
b.      Bea masuk, dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.       Pajak daerah dan retribusi daerah.
(3)    Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.       Bagian Negara;
b.      Pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.       Bonus-bonus.
(4)    Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan:
a.       Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak kerja Sama ditandatangani; atau
b.      Ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
---------
Nyambung Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 diatas, ketentuan peraturan perundang-perundangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak Kerja Sama atau ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku yang dimaksud disini saat ini adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dan saat ini UU Pajak Penghasilan yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Pasal 31D
Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
-------
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 31D tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 atau lebih populer dengan sebutan PP Cost Recovery, berikut penjelasannya tentang PP tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010
Dalam konsiderannya, PP 79 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan (bukan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi). Ada beberapa pihak yang mempermasalahkan hal tersebut yaitu oleh karena keberadaan PP 79 Tahun 2010 tidak diamanatkan oleh Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi maka kehadirannya dianggap tidak diperlukan.
Melihat dari runutan di atas, dimana Pasal 31 ayat (4) mengamanatkan kepada peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan) maka sudah tepat PP 79 Tahun 2010 menyebut Pasal 31D Undang-Undang Pajak Penghasilan (dan bukan Undang-Undang Minyak Bumi) dalam konsiderannya.

Adapun beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan topik bahasan utama kita adalah sebagai berikut:
Pasal 24 ayat (7)
Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split yang didalamnya belum termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
---------
Besarnya pembagian produksi dalam kontrak PSC di Indonesia adalah share sebelum pajak maka formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% tidak akan ditemukan pada dokumen kontrak PSC. Secara garis besar dalam kontrak PSC disebutkan bahwa kontraktor akan dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (ingat Pasal 6 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi di atas!!!! besaran bagi hasil tidak termasuk dalam persyaratan minimalnya sebuah kontrak PSC jadi sah-sah saja bila dalam kontrak PSC tidak memuat besaran split bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah).

Disinilah titik dispute itu, oleh karena dalam kontrak PSC tidak menyebut formula bagi hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% maka beberapa pihak menyimpulkan bahwa kontrak PSC tidak mengatur besaran share bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah sehingga untuk penghitungan PBDR/BPT digunakanlah tarif tax treaty yang dianggap lebih memiliki pijakan hukum, benarkah demikian?

Simpan pertanyaan anda, karena pembahasan mengenai ini akan dikupas pada Tulisan Ke-5.
---------
Pasal 25 


(1) Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal9 ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
(2)Dalam ha1 jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
(3)Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(4)Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
(5)Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(6)Dalam ha1 kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.

Penjelasan Pasal 37
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan besaran penerimaan negara sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja sama.
---------
Ini pasal yang dimaksudkan untuk menjaga agar penerimaan negara tetap aman terjaga pada porsinya apabila terjadi gonjang ganjing upaya tax planning, treaty shopping atau tax avoidance sekalipun.

Lagi-lagi simpan pertanyaan anda, karena pembahasan lebih lengkap mengenai ini akan dikupas pada Tulisan Ke-5.

Bagian Penjelasan PP 79 Tahun 2010
1.       UMUM
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu, ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan beberapa ketentuan peralihan.

-------
Kalimat “Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)” ini masih merupakan lanjutan dari Pasal 37 beserta Penjelasannya, dimana pada Pasal 37 ditegaskan masalah komitmen untuk menjaga penerimaan negara agar tetap terjaga pada porsi yang seharusnya. Selain upaya tax planning melalui treaty shopping ataupun pengalihan interest yang disasar secara tepat oleh Pasal 37 maka kalimat pada Penjelasan Bagian Umum tersebut ingin menegaskan kembali bahwa upaya-upaya apapun yang bertujuan untuk mengurangi porsi penerimaan negara (apakah itu dengan pengalihan interest ataupun pemindahan kantor pusat untuk tujuan treaty shopping) yang semata-mata ditujukan agar mendapatkan tarif treaty yang lebih rendah maka menurut PP 79 Tahun 2010 upaya-upaya tersebut termasuk kategori penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Maka untuk menghindarinya dipasanglah Pasal 37 yang menjadi critical point untuk memagari upaya-upaya penyalahgunaan penerapan P3B tersebut.
Oke segitu dulu tulisan ke-4, mudah-mudahan dalam waktu dekat tulisan ke-5 yang akan mengupas masalah aturan-aturan krusial yang bagi sebagian pihak diperdebatkan.

Daftar Bacaan:
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010




Tepat pukul 4 pagi, nguantuk berat karena sudah “on fire” dari pukul 12 melakukan apapun yang menyenangkan dan finally berakhir di atas bantal lagi, good morning everybody!!!