Kamis, 02 Januari 2014

Pajak-Pajak Terkait Pemanfaatan Jasa Dari Luar Negeri

A.   SECUIL PROLOG

Berawal  dari diskusi dengan seorang teman Account Representative tentang adanya sebuah akun baru pada FQR (Financial Quaterly Report) dari salah satu Wajib Pajak. Nama akun ini mengindikasikan adanya suatu aktivitas pemanfaatan jasa dan setelah di konfirmasi jasa yang dimanfaatkan berasal dari perusahaan jasa yang berada di luar negeri.  Diduga kuat aktivitas ini berkaitan erat dengan dua pemenuhan kewajiban pembayaran pajak yaitu  PPN dan PPh Pasal 26 yang belum dipenuhi si Wajib Pajak tersebut kemungkinan besar karena ketidaktahuannya.

Mengapa kita bilang diduga kuat??? Bukankah seharusnya sudah terang benderang??? Ya benar!! Sebagaimana umumnya sebuah transaksi yang melibatkan negara lain maka memang sudah jelas bahwa transaksi tersebut  hampir dapat dipastikan adalah Objek PPh Pasal 26, namun untuk menentukan apakah transaksi tersebut terutang atau tidak disamping harus mempelajari ketentuan-ketentaun terkait  tentunya juga harus mempelajari tax treaty dengan negara domisili dari perusahaan pemberi jasa.


B. PPN ATAS PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN

Prinsip Destination Principles
Salah satu prinsip pengenaan PPN adalah destination principles (tempat tujuan) yang menyatakan bahwa PPN akan dipungut di tempat dimana barang atau jasa tersebut di konsumsi.

Dasar Hukum Pengenaan
Pasal 3 A Ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPN
Pajak  Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Apa Yang Termasuk Dalam Lingkup Pemanfaatan
Dalam Surat Edaran Nomor SE-147/PJ/2010 tentang penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean adalah:
a.       Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah;
b.      Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar Daerah Pabean sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut tidak menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri;
c.       Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d.      Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean.
Kepada Siapakah Dikenakan
Seringkali terjadi oleh karena Wajib Pajak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah bukan Pengusaha Kena Pajak (termasuk salah satu diantaranya adalah KKKS Migas) maka Wajib Pajak tersebut tidak melakukan pemungutan PPN (lagi-lagi pasti karena ketidaktahuannnya).

Pasal 3 A ayat (3)
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.

Orang pribadi atau badan yang disebutkan pada Pasal 3A ayat (3) tersebut tidak mensyaratkan harus PKP atau tidak sehingga secara otomatis non PKP pun wajib memungut dan menyetor sendiri.

Bagaimana Pelaporannya
Bagi orang pribadi atau badan yang PKP, PPN yang telah disetor dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan terutangnya pajak sedangkan bagi orang pribadi atau badan yang bukan PKP, PPN yang telah disetor dilaporkan menggunakan SSP paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

Apakah Dapat Dikreditkan
Untuk yang berstatus sebagai PKP, PPN atas pemanfaatan JKP di luar daerah pabean ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sepanjang berhubungan dengan kegiatan usaha dan pengisian SSP-nya (sebagai pengganti Faktur Pajak) telah dilakukan sesuai ketentuan.


C. PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Menentukan BUT atau Non BUT

Sebelum menentukan kewajiban PPh Pasal 26 hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengidentifikasi apakah perusahaan pemberi jasa memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau tidak. Bagaimana mengidentifikasinya? Dalam P3B Indonesia dengan negara lain dinyatakan bahwa BUT dapat timbul dalam hal pelaksanaan suatu pemberian jasa melampaui jangka waktu tertentu (biasa disebut sebagai “time test”). Penentuan “time test” dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (5) huruf m Undang-Undang Pajak Penghasilan dan juga pada P3B/Tax Treaty (umumnya pada Pasal 5). Kapan menggunakan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan kapan menggunakan Tax Treaty???

Pasal 2 ayat (5) huruf m Undang-Undang Pajak Penghasilan

Bentuk Usaha Tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Time Test  60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut berlaku apabila pemberi jasa berasal dari negara yang bukan treaty partner/mitra P3B atau berasal dari negara treaty partner/mitra P3B namun tidak dapat menunjukkan COD, maka ambang batas 60 hari tersebut akan diberlakukan sepenuhnya dalam menentukan apakah kegiatan pemberian jasa tersebut dianggap menimbulkan BUT atau tidak.

Ketentuan Time Test dalam P3B

Pada dasarnya sebuah negara berhak memajaki laba usaha sebuah perusahaan yang berdomisili di negara lainnya apabila perusahaan tersebut melakukan kegiatan usaha/mendapatkan penghasilan di negaranya melalui sebuah Bentuk Usaha Tetap (BUT). Namun jika kegiatan usaha tersebut dilakukan tidak melalui suatu BUT/tidak menimbulkan adanya BUT di negara lain, maka negara lain tersebut tidak berhak memajaki laba usaha perusahaan dimaksud. Ketentuan ini biasa diatur dalam pasal 7 ayat (1) pada hampir seluruh P3B/Tax Treaty yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara treaty partner.  Mengenai bagaimana BUT dianggap sudah timbul atau belum termasuk aturan-aturan pengecualiannya, hal ini umumnya diatur dalam Pasal 5 P3B.

Sebagai contoh P3B antara Indonesia dengan Malaysia yang mengatur  jangka waktu pemberian jasa baru akan menimbulkan adanya sebuah BUT apabila lebih dari 90 hari dalam periode 12 bulan. 

Jika BUT dan Jika Non BUT
Jika pembayaran penghasilan dilakukan kepada BUT maka ketentuan pemotongan pajaknya mengacu pada Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan

Pasal 23 ayat 1 huruf c
Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 26 ayat (1) huruf d
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.

Jika pembayaran penghasilan dilakukan kepada non BUT yang berdomisili di negara yang tidak memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia atau memiliki P3B dengan Indonesia namun tidak dapat menunjukkan COD  maka penghasilan yang dibayarkan dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20%.

Adapun jika pembayaran penghasilan dilakukan kepada non BUT yang berdomisili di negara yang memiliki Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia dan dapat menunjukkan COD  maka tarif yang digunakan adalah sebesar tarif yang disepakati dalam Tax Treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) (umumnya hak pemajakan adalah di Negara sumber atau dengan kata lain Pemerintah Indonesia tidak berhak memajaki).

D.   KESIMPULAN
Jadi  dapat disimpulkan apabila terdapat pembayaran atas penggunaan jasa dari luar negeri kewajiban pajak yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak pengguna jasa adalah PPN Jasa Luar Negeri dan PPh Pasal 26 dengan memperhatikan batasan-batasan  seperti disebutkan di atas.



Daftar Bacaan:
1.    Indonesian Tax Review Volume III/Edisi 06/2010
2.    Tulisan Bapak Ruston Tambunan, Ak., M.Si., M.Int.Tax,BKP di economy.okezone.com
3.    Undang-Undang Pajak Penghasilan
4.    Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
5.    tax-treaty.blogspot.com






Selesai ditulis di menjelang sepertiga malam!  “Blog itu ibarat rumah, didalamnya seharusnya si pemilik bebas meletakkan furniture dimanapun, bebas memajang foto apapun dan bebas bicara apapun. Dan Pembaca itu ibarat tamu, haknya untuk  dijamu, untuk diberi senyum manis dan untuk melihat-lihat rumah. Exactly right--tidak ada tuntutan untuk menjadi tamu yang baik tapi saya menegaskan komitmen untuk menjadi tuan rumah yang baik” Toss dulu dong!!

3 komentar:

  1. sangat bermanfaat, terimakasih. :)

    BalasHapus
  2. Dear Ibu,

    Kantor saya menyelenggarakan training dengan pembicara dari LN Malaysia, pembayaran fee dilakukan langsung ke kantor si pembicara tsb bekerja. Dari artikel ibu, saya menyimpulkan karena si pembicara tsb tidak melebihi time test berarti dikenakan tarif tax treaty (jika dapat menunjukkan COD) dan dikenakan PPN Jasa LN. Tarif tax treatynya berapa ya Bu?
    Jika tidak dapat menunjukkan COD apakah dikenakan tarif pph 26 sebesar 20% & PPN Jasa LN?
    Mohon koreksi dan masukannya ya Bu..

    terima kasih
    tien

    BalasHapus
  3. Bu, Kalau perusahaan LN tersebut memberikan jasa melebihi timetest namun tidak register di Indonesia sebagai BUT, apakah dapat dikategorikan BUT? sehingga dapat kita potong pph 23 bukan pph 26?

    Terima kasih

    Maria Ds

    BalasHapus