A. SEATTLE
MEAN SLEEP
Menjelang subuh
yang basah disertai suara tetesan air sisa hujan yang turun saat jauh sebelum
subuh tadi memang sebuah symphony yang merdu untuk merapatkan selimut dan
melanjutkan tidur, apalagi ditambah hawa dingin yang menusuk tulang karena
beberapa hari ini Jakarta terus menerus diguyur hujan. Teringat film lawas yang
dibintangi Tom Hank dan Meg Ryan “Sleepless In Seattle” yang belum lama ini
kutonton lagi untuk kesekian kalinya. Mengapa Seattle?? Bukan kota lain..ini
pertanyaanku duluuu sekali saat nonton film ini, rupanya dari berbagai bacaan
ada satu hal tentang Seattle yang membuat kota ini jadi judul sekaligus tempat
kejadian perkara film tersebut.
Seattle adalah
sebuah kota di AS dimana disana memiliki musim hujan yang jauh lebih panjang dibanding
kota-kota lain, 9 bulan dalam kurun 12 bulan!!! Terbayang kan betapa sejuk dan
dinginnya kota itu??? Berbanding lurus dengan hawa dingin dan hujan adalah
keinginan untuk selalu tidur dan tidur, namun sebaliknya di film ini
diceritakan seorang pria yang semenjak meninggalnya sang istri menjadi sleepless alias gak bisa tidur.
Kadang-kadang
kesedihan dan kehilangan yang mendadak bisa membuat seseorang menjadi berada
dalam kondisi “selalu terjaga” disaat seharusnya mereka tertidur. Ini karena
manusia punya memori yang kuat didalam pikirannya, memori yang mampu mengingat
ber-giga2 kenangan baik kenangan manis ataupun kenangan pahit yang sayangnya
tak mudah untuk di-setting kapan
kenangan-kenangan tersebut boleh melintas dan kapan tak boleh melintas. Ingat
kan sebuah ungkapan “aku diam tapi dalam pikiranku aku sibuk” !!! hmmmm!!!
B. PEMBERI
JASA TAK PUNYA NPWP
Pada tulisan
sebelumnya dinyatakan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan atas pemanfaatan jasa
dari luar daerah pabean dibedakan apakah pemberi jasa sudah BUT atau belum BUT dengan
memperhatikan time test yang secara
umum diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan secara khusus diatur
didalam tax treaty masing-masing
Negara.
Tentunya tidak
masalah jika pemberi jasa belum memenuhi syarat sebagai BUT dan dia tidak
ber-NPWP karena secara pasti dia akan dikenakan PPh Pasal 26 (dengan
batasan-batasan sebagaimana saya sebutkan pada tulisan sebelumnya) dan PPN atas
pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean.
Menjadi masalah
ketika pemberi jasa sudah memenuhi syarat sebagai BUT namun tidak mendaftarkan
diri untuk mendapatkan NPWP, apakah akan dikenakan PPh Pasal 26 ataukah PPh
Pasal 23?? Lalu apakah akan dikenakan PPN atas pemanfaatan JKP Luar Negeri atau
tidak.
C. PASAL
26 ATAU
PASAL 23
Melebihi time test otomatis BUT??
Wajib Pajak Luar Negeri yang memberikan
jasa melebihi time test secara teori
dianggap sudah timbul BUT dan diperlakukan sebagai BUT sekalipun belum/tidak
mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
Alasannya:
-Persyaratan memiliki NPWP tidak termasuk
penentu timbul tidaknya suatu BUT
-tidak ada ketentuan
yang mengakibatkan status Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) BUT berubah menjadi
WPLN Non BUT hanya karena tidak memiliki NPWP
-pemotongan
PPh Pasal 26 hanya berlaku bagi WPLN selain BUT. PPh Pasal 26 dengan tarif 20%
dikenakan terhadap perusahaan luar negeri yang berasal dari negara mitra P3B
tetapi tidak dapat menunjukkan SKD atau berasal dari negara non mitra P3B
di mana kegiatan pemberian jasa di Indonesia tidak melebihi jangka waktu 60
hari sebagaimana di atur dalam Pasal 2 ayat (5) huruf m UU PPh sebagaimana
dibahas pada tulisan sebelumnya
Kewajiban perpajakan Bentuk Usaha Tetap diatur dalam Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan, berikut kutipannya:
Bentuk usaha
tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan
subjek pajak badan.
Kata-kata
dipersamakan disini mengandung pengertian bahwa sejatinya antara BUT dan Wajib
Pajak Badan dalam negeri adalah “berbeda”
namun untuk tujuan perpajakan dianggap “sama”. Sisi berbeda disini adalah
karena BUT adalah Subjek Pajak Luar Negeri dan sisi sama disini adalah karena
BUT memiliki kewajiban yang sama dengan Wajib Pajak Badan dalam negeri lainnya,
termasuk kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dan atau mengajukan
permohonan untuk dikukuhkan sebagai PKP dan juga kewajiban pelaporan
pajak-pajak lainnya.
Rata-rata
BUT-BUT ini enggan untuk mendaftarkan diri dan atau mengajukan permohonan
pengukuhan PKP disamping karena mungkin mereka bertransaksi dengan WPDN hanya
sekali saja atau mungkin juga mereka memang tidak menghendaki dikenai kewajiban
perpajakan seperti WP badan dalam negeri.
Dikenakan Pasal 23
dan Tidak Ada PPN
Undang-Undang
PPh yang baru mengakomodir mekanisme pemotongan PPh Pasal 23 bagi yang tidak
ber-NPWP yaitu di Pasal 23 ayat (1a). Disitu ditegaskan bahwa apabila penerima
penghasilan tidak memiliki NPWP, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi
100% dari tarif yang seharusnya. Wajib Pajak yang dimaksudkan disini menurut Pasal 23 UU PPh adalah sangat jelas yaitu WPDN atau BUT. Jadi, masalah BUT memiliki atau tidak memiliki NPWP dalam rangka pemotongan PPh Pasal 23 adalah hanya berakibat pada perbedaan besarnya tarif pemotongan yang akan dikenakan, tidak lantas mengakibatkan penerapan pemotongan PPh Pasal 26.
Pasal 3A ayat 1 UU PPN
, intinya jika sudah dianggap timbul BUT maka lingkupnya bukan lagi pemanfaatan
JKP LN melainkan penyerahan dalam negeri yang mana pengenaan PPN-nya mengikuti
mekanisme umumnya WP Badan Dalam Negeri.
Pengenaan PPN
dengan mekanisme umum tidak mungkin dilakukan karena jangankan dikukuhkan
menjadi PKP ber-NPWP saja belum/tidak, maka PPN atas Pemanfaatan JKP dari luar
daerah pabean yang telah berubah pengertian menjadi Penyerahan didalam daerah
pabean ini menjadi tidak dapat dipenuhi.
Wajib Pajak Luar Negeri yang memberikan
jasa melebihi time test tidak dapat
dianggap sebagai BUT karena dia belum ber-NPWP sehingga pengenaan Pasal 26
dipandang lebih pas.
Alasan:
-Pemberi jasa yang
telah melebihi time test tapi belum
ber-NPWP dan belum dikukuhkan sebagai PKP
belum dapat dimelekati kewajiban sebagai BUT sehingga mekanisme
pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi sulit dipenuhi sesuai ketentuan.
-Belum adanya aturan
yang secara tegas mengatur apakah transaksi seperti ini Objek PPh Pasal 23 atau
PPh Pasal 26.
Di Kenakan Pasal 26
dan PPN
Cek
tulisan ini Pajak-Pajak Terkait Pemanfaatan Jasa Dari Luar Negeri
Hitung-Hitungan
Untung Rugi
Sebelum Pasal 23 ayat (1a)
Undang-Undang PPh yang mengatur tentang pengenaan tarif pemotongan yang lebih
tinggi 100% dari tarif yang seharusnya terhadap penerima penghasilan yang tidak
memiliki NPWP diberlakukan, pilihan untuk mengenakan PPh Pasal 23 atau Pasal 26
akan menghasilkan hitungan untung rugi yang berbeda baik dari sisi Wajib Pajak
maupun dari sisi penerimaan negara.
Setelah berlakunya Pasal 23 ayat (1a)
tersebut, pilihan (kalau boleh dibilang pilihan) untuk mengenakan PPh Pasal 23
atau PPh Pasal 26 yang semata-mata didasarkan pada hitungan untung rugi perlu
ditimbang ulang.
D.
KESIMPULAN
Selama belum ada
peraturan yang mengatur secara tegas, maka dari sisi Wajib Pajak mengenakan PPh
Pasal 23 atau Pasal 26 apapun alasannya tetap merupakan sebuah pilihan. Pun
sebaliknya bagi Account Representative/Pemeriksa apakah akan mengenakan PPh
Pasal 23 atau Pasal 26 dengan alasan apapun, itu juga merupakan pilihan. Jadi
mari saling menghormati pilihan masing-masing. No offense please!!!
Dari berbagai sumber
Jika kita sepakat PPh merupakan pajak subjektif maka seharusnya dalam melakukan assessment dipertimbangan kondisi subjek-nya dulu baru kemudian objek-nya. Tentukan statusnya dulu apakah WP tersebut sebagai WPDN ataukah WPLN baru kemudian bicara tentang objek-nya kena tarif yang mana..
BalasHapusHal ini tentu berbeda dengan PPN yang legal karakternya sebagai pajak objektif. Dalam melakukan assessment PPN yang di assessment dari objek-nya dulu yaitu peristiwa hukum (tatbestand) yang terutang PPN
Salam,
AMK