Senin, 16 September 2013

DASAR PENGENAAN FARM OUT SEBELUM BERLAKUNYA PP 79 TAHUN 2010



A.   SECUIL BASA-BASI
“Hidup adalah tentang hari ini dan yang akan datang, jangan pernah mengusik masa lalu karena kita tidak sedang hidup di masa lalu”---kira-kira gimana perasaanmu jika sebagai Account Representative (AR) mendapat jawaban imaginatif seperti di atas dari Wajib Pajak ketika melakukan himbauan pembayaran atas transaksi pengalihan participating interest untuk tahun tahun sebelum berlakunya PP 79 Tahun 2010. Wkwkwwk pasti akan kagetz dan langsung ngusap-ngusap pipi atau kalau AR-nya perempuan dan pake jilbab otomatis langsung pegang ujung jilbab sambil kedap kedip dan tersipu-sipu gak jelas (sama persis seperti akting seorang gadis yang sedang dilamar versi layar lebar tahun 60-an---pegang ujung taplak meja sambil tersipu-sipu).Bwahaha lebay!
Hanya ingin menyampaikan bahwa dalam melaksanakan tugas sehari-hari sebagai AR, ada buanyak sekali kejadian yang tak terduga, ada buanyak sekali statement2 Wajib Pajak yang bikin tercengang-cengang, dan ada buanyak sekali kemungkinan-kemungkinan lain yang diatas kertas terlihat mokal namun didunia nyata benar-benar terjadi, intinya diperlukan banyak improvisasi jika menghadapi kejadian-kejadian kayak begini karena disamping tak pernah diajarkan dalam dinas juga tak ada SOP-nya. Jadi improvisasi memegang peranan penting disini. Catet!!!!
----------
B.   DASAR HUKUM PENGENAAN FARM OUT SEBELUM PP 79 TAHUN 2010
          Langsung ke topik ya walaupun kelam masa lalu adalah guru yang terbaik, berkaca darinyalah maka lahirlah PP 79 Tahun 2010 yang berusaha menyelesaikan masalah-masalah pengalihan participating interest di masa lalu. Istilah pengalihan participating interest baru diperkenalkan secara resmi pada PP 79 Tahun 2010. Dalam surat-menyurat kedinasan Direktur Jenderal Pajak terdahulu, istilah yang biasa digunakan untuk menyebut pengalihan participating interest adalah farm in farm out (istilah ini umum dipakai dalam bisnis migas untuk menyebut adanya aktivitas pengalihan kepemilikan hak pengelolaan blok migas).
          Pengenaan Pajak Penghasilan atas farm in farm out pada suatu wilayah kerja migas sebelum berlakunya PP 79 Tahun 2010 tidak diatur secara spesifik, dan berhubung Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut maka dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi farm in farm out adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Bicara filosofi, tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Karena Undang-Undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya, kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Berikut saya kutipkan dasar hukum terkait:
Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan
UU Nomor 17 Tahun 2000
(mulai berlaku 01 Januari 2001)
UU Nomor 36 Tahun 2008
(mulai berlaku 01 Januari 2009)
Pasal 4
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

Pasal 4 ayat (1) huruf d:
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta



Pasal 4 ayat (1) huruf p:
Tambahan kekayaan neto
Pasal 4
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

Pasal 4 ayat (1) huruf d.5
keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan

Pasal 4 ayat (1) huruf p:
Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
C.   SURAT PENEGASAN TERKAIT FARM OUT SEBELUM BERLAKUNYA PP 79 TAHUN 2010
Ada baiknya kita melihat Surat Penegasan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak terkait permasalahan pengalihan participating interest sebelum berlakunya PP 79 Tahun 2010. Surat Penegasan lazimnya diterbitkan dalam rangka menjawab pertanyaan dari  satu Wajib Pajak, dari satu asosiasi ataupun dari suatu kelompok kepentingan tertentu. Oleh karena Surat Penegasan digunakan untuk merespon sebuah pertanyaan maka umumnya surat penegasan ditujukan hanya untuk si penanya. Maka menurut pendapat saya sebuah surat penegasan adalah bukan sebuah dasar hukum yang mengikat. Jika bukan sebuah dasar hukum yang mengikat, setidaknya apakah surat penegasan dapat dijadikan sebuah jurisprudensi??
Sebelumnya kita intip dulu apa itu jurisprudensi, jurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.
Putusan Mahkamah Agung tersebut akan diseleksi oleh Tim Khusus dan apabila dianggap layak untuk menjadi Yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh Mahkamah Agung. Judul atau Nama dari publikasi tersebut disesuaikan dengan tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.
Nah menjadi terang benderang sekarang, bahwa untuk dapat mempersamakan sebuah surat penegasan dengan sebuah jurisprudensi adalah tidak mungkin dan tidak pas. Maka tetap saya berpendapat bahwa surat penegasan adalah bukan dasar hukum dan tidak pula dapat dijadikan jurisprudensi.
Meskipun demikian tetap ada manfaatnya jika kita melihat apa isi surat penegasan Direktur Jenderal Pajak terkait masalah pengalihan participating interest sebelum berlakunya PP 79 Tahun 2010 sebagai bahan telaah atau sekedar sebagai sebuah sudut pandang yang akan memperkaya wawasan. Mantap!
Surat Penegasan Nomor S-472/PJ.42/2003 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Farm Out Perusahaan Asing ini beredar luas dengan nama Wajib Pajak atau penanya yang sudah disamarkan. Berikut saya ringkaskan isi surat dimaksud:
Kasus

  1. Sebuah perusahaan yang berkedudukan di British Virgin Island mempunyai 100%  interest pada Kontrak Bagi Hasil dengan ABC
  2. Setelah menandatangani Kontrak Bagi Hasil, perusahaan mengalihkan kepemilikan interest-nya kepada pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (farm out). Atas pengalihan ini perusahaan mendapatkan pembayaran dalam bentuk kas 
  3. Bagaimana perlakuan Pajak Penghasilannya?

Dasar Hukum:

  1. Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000:
  2. Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
  3. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000:  " Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen dari perkiraan penghasilan neto)"
  4. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tanggal 24 Agustus 1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham, diatur bahwa:

Ayat (1)
Atas penghasilan dari penjualan saham perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto.
Ayat (2)
Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
Ayat (3)
Berdasarkan perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah 20% X 25% atau 5% (lima persen) dari harga jual.
 SOLUSI

  1. Untuk tujuan perpajakan, pengalihan interest pada Kontrak Bagi Hasil migas dipersamakan dengan pengalihan saham pada perseroan di Indonesia;
  2. Karena Indonesia tidak mempunyai perjanjian penghindaran pajak berganda dengan British Virgin Island, maka atas keuntungan karena pengalihan interest pada Kontrak Bagi Hasil migas dikenakan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan;
  3. Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan interest pada Kontrak Bagi Hasil migas adalah sebesar 5% (lima persen) dari harga jual atau nilai pengalihan.

-------
Lalu bagaimana pengenaan dan pelaporan PPh atas pengalihan participating interest atau farm in farm out sebelum berlakunya PP 79 Tahun 2010?? Tulisan mengenai ini akan dibahas pada tulisan selanjutnya. Terima kasih.....salam insomnia.


Daftar Bacaan:
UU Nomor 17 Tahun 2000
UU Nomor 36 Tahun 2008
Wikipedia






Disepertiga malam yang akhir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar