BRANCH PROFIT TAX: TARIF TAX TREATY ATAU
TARIF PSC?
INTERMEZZZO
Bulan ini sungguh tidak produktif, banyak hal yang membuatku penasaran
sehingga fokus terpecah, tengok kanan tengok kiri. Asyik dengan satu hal lalu
pindah asyik dengan hal lain, terus begitu hingga akhirnya tersadar OMG janji
tulisan ke-5 ku belum kelar juga ya!!!
Bulan Ramadhan begini, jam masuk kerja di kantorku tak begitu berubah kayak
kantor-kantor pemerintah yang lain. Pagi tetep sama kayak biasanya (for your
info ya, dikantorku jam masuk kerja barengan sama kokok ayam jadi kebayang
kan dari rumah harus jam berapa?)------jangan-jangan penulisnya nyambi jadi
OB nih jadinya brangkat kerja balapan sama kokok ayam.
Untuk jam bubar kantor, kami baru pulang jam 4.30, nyesek banget sementara
departemen sebelah boleh pulang kapan sajah semau-mauya. Wiiih departemen apaan
tuh enak banget boleh pulang semau-maunya, eeee....DEPARTEMENT STORE aka emol.
(owh pantesan!!). Yang bikin nyesek lagi adalah ketika tempo hari jam
menunjukkan pukul 3 sore, salah seorang pren AR sebelah kubikku nelpon Wajib Pajak
untuk mengklarifikasi beberapa hal dan tak berapa lama nggremeng sendiri
begitu tau jam segitu kantor Wajib Pajak sudah tutup “swasta aja patuh sama jam
kerja Menpan kok, lha ini kita yang instansi pemerintah malah mbalelo pulang
jam 4.30”. Sing sabar yoooo pren, namanya juga prajurit yang harus patuh pada
sabdo pandhito ratu alias THE VERY BERRY BIG BOSSS!!
Okayyy, saatnya masuk ke topik!!!!
KEWAJIBAN KONTRAKTOR: PAJAK DAN PNBP
Kewajiban kontraktor sesuai Pasal 31 ayat 5, 6, 7 dan
8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi adalah sebagai
berikut:
(1)Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib membayar penerimaan
Negara yang berupa pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2)Penerimaan Negara yang berupa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) terdiri atas:
a.Pajak-pajak;
b.Bea masuk,
dan pungutan lain atas impor dan cukai;
c.Pajak
daerah dan retribusi daerah.
(3)Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas:
a.Bagian
Negara;
b.Pungutan
Negara yang berupa iuran tetap dan iuran Eksplorasi dan Eksploitasi;
c.Bonus-bonus.
(4)Dalam Kontrak Kerja Sama ditentukan bahwa
kewajiban membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dilakukan
sesuai dengan:
a. Ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku pada saat
Kontrak Kerja Sama ditandatangani; atau
b.
Ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.
Kontraktor wajib membayar penerimaan negara yang berupa
pajak dan PNBP, untuk penerimaan negara yang berupa pajak terdiri atas:
-Pajak Perseroan (PPs) atau Pajak Penghasilan Pasal 25
-Pajak Dividen Bunga dan Royalti (PBDR) atau PPh Pasal
26/BPT
Adapun tarif pajak penghasilan mengikuti besaran tarif
yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang telah beberapa kali
megalami perubahan tarif sedangkan untuk PBDR mengacu pada tarif PPh Pasal 26
ayat (4) yaitu 20%.
BAGI HASIL: BAGIAN PEMERINTAH DAN BAGIAN KONTRAKTOR
Merunut kebelakang, historinya dulu bagi hasil dalam kontrak
migas di Indonesia adalah angka bersih (net after tax), namun kemudian
ada kewajiban kontraktor untuk membayar pajak-pajak di Indonesia yang
besarannya menyesuaikan dengan peraturan perundangan perpajakan sehingga
kesepakatan bagi hasil di dalam kontrak disebutkan nilai gross sebelum pajak.
Inilah mengapa kontrak PSC di Indonesia formula bagi
hasil dengan split 85%:15%, atau 80%:20% atau 70%:30% tidak akan
ditemukan pada dokumen kontrak PSC. Kesepakatan bagi hasil sebelum pajak tersebut biasanya dituangkan
dalam Section VI, berikut saya kutipkan:
For Crude Oil production of the Contract
Area other than those under paragraphs (a) and (b) above, each year PERTAMINA shall be entitled to take and
receive 71.1538% and CONTRACTORS
shall be entitled to take and receive 28.8462%. Crude Oil under this
subparagraph (c) represents a separate production segment from the others.
A.
Share sebelum pajak yang
disepakati dalam kontrak PSC adalah:
-Kontraktor : 28.8462%
-Pemerintah : 71.1538%
B.
Pajak-Pajak yang harus
dibayar kontraktor adalah:
-PPs atau Pajak Penghasilan Pasal 25 35.0000%
-PBDR/BPT atau PPh Pasal 26/BPT 13.0000% + (20% x(100%-35%)
Total pajak-pajak yang harus dibayar kontraktor adalah 48.0000%
C.
Bagian Kontraktor
-Share sebelum pajak 28.8462%
-Pajak-pajak 13.8462%
- (48%x28.8462%)
Bagian Kontraktor 15.0000%
D.
Bagian Pemerintah
-Share sebelum pajak 71.1538%
-Pajak-pajak 13.8462%- (48%x28.8462%)
Bagian Pemerintah 85.0000%
Clear ya, darimana split bagi hasil 85%:15% itu berasal? Si miss dispute-nya sudah mulai terurai. Jadi kalau PBDR/BPT yang dibayar kontraktor menggunakan tarif tax treaty yang lebih rendah dari 20% maka bagian pemerintah tidak akan mencapai 85%.
APA KATA KONVENSI WINA (VCLT) SOAL TAX TREATY?
Konvensi Wina, yang disebut
dengan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, mengatur tentang
perjanjian internasional publik antar negara sebagai subjek utama hukum
internasional. Konvensi Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi
negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Apa
kata Konvensi Wina tentang sebuah treaty?
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (VCLT) Article 31 (1): General Rule of Interpretation
“A treaty
shall be interpreted in good faith in accordance with the ordinary
meaning to be given to the terms of the treaty in their context and in the ligt of its object and purpose”
Suatu perjanjian (treaty) harus diberi interpretasi dengan itikad baik dan diartikan sesuai dengan istilah yang sesuai dengan definisi yang diberikan di dalamnya dalam kerangka tujuan dari treaty tersebut.
Dalam kaitannya dengan P3B, ketentuan tersebut mengandung dua hal yang pokok yaitu intepretasi dari suatu istilah dan interpretasi atas hak pemajakan terhadap jenis penghasilan tertentu. Interpretasi yang akan menimbulkan pengenaan pajak berganda, tidak sesuai dengan jiwa Article 31(1), yaitu ...in the light of its object and purpose.."
Tujuan dari suatu P3B adalah menghindarkan terjadinya pengenaan pajak berganda, jadi interpretasi yang diberikan harus dalam konteks tujuan P3B tersebut.
Sepakat ya bahwa berlandaskan pada good faith, treaty itu
semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak berganda, dan bukannya meluas pada tujuan
lain yaitu adanya itikad tidak baik untuk mengurangi bagian pemerintah dengan
berlindung dibalik tarif tax treaty.
MENIMBANG PELUANG DI PENGADILAN PAJAK
Bicara tentang kontraktor yang masih bertahan untuk menggunakan tarif tax
treaty dalam menghitung kewajiban PBDR/BPT-nya maka mau tak mau kita harus
bicara tentang menghitung peluang mereka di Pengadilan Pajak, karena ketika
kontraktor menggunakan tarif treaty maka auditor BPKP pastinya akan
menjadikan selisih tarif tax treaty dengan tarif PPh Pasal 26 ayat (4)
tersebut sebagai temuan hasil audit dimana temuan tersebut akan dikirim ke
Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi untuk ditagih sampai dengan upaya
penerbitan produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
Upaya hukum yang dapat dilakukan kontraktor adalah berupa pengajuan
Keberatan ke Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus lalu pengajuan Gugatan/Banding
di Pengadilan Pajak. Sedikit bocoran, baik di tingkat Keberatan maupun Banding,
beberapa perkara yang sudah selesai diputuskan seluruhnya memenangkan
pemerintah. Hmmmmm!
DISPUTE ITU AKHIRNYA BENAR-BENAR
BERAKHIR
Perbedaan pemahaman antara beberapa
kontraktor (catat ya: hanya beberapa kontraktor) dan pemerintah soal tarif
PBDR/BPT idealnya memang harus diakhiri, dan alternatif solusi yang pernah
ditawarkan adalah dengan negoisasi ulang tarif tax treaty sehingga setara
dengan tarif PPh Pasal 26 ayat (4) atau amandemen kontrak PSC. Dan pilihan itu
akhirnya jatuh pada amandemen kontrak yang dimulai pada model PSC 2011 dengan
tambahan ketentuan tidak diperbolehkannya penggunaan tarif tax treaty dalam
menghitung PBDR/BPT kontraktor.
Namun bagi beberapa pihak amandemen
kontrak tersebut diartikan secara sepihak bahwa oleh karena baru pada model PSC
2011 disebutkan larangan menggunakan tarif treaty dalam menghitung PBDR/BPT
maka itu diartikan bahwa pada era sebelum model PSC 2011 penggunaan tarif
treaty diperbolehkan. Bila segala sesuatu dibalik-balik seperti itu lalu dimana
letak “good faith” itu ya???
Daftar Bacaan:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi;
2. Buku Benny Lubiantara--Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas;
3. Beberapa kontrak PSC
4. Beberapa Putusan Pengadilan Pajak
5. www.pajakonline.com
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi;
2. Buku Benny Lubiantara--Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas;
3. Beberapa kontrak PSC
4. Beberapa Putusan Pengadilan Pajak
5. www.pajakonline.com